Di rumah ini, meja makan menanak rahasia, sendok-sendok berisik memukul piring retak.
Kursi-kursi reot saling membelakangi, dan dindingnya menguping seperti pecahan telinga yang ditinggalkan.
Ayah mengiris roti dengan pisau tumpul, bukan untuk dibagi, melainkan untuk menghitung berapa kali ia bisa menyayat tanpa disadari.
Ibu menaburkan garam dengan gemetar,
seolah asin itu bisa menutupi rasa besi yang menetes di lidah, tapi sesungguhnya ia hanya menyiapkan sup luka agar anak-anaknya terbiasa menelan perih tanpa gumam.
Sementara sang saudara meneguk teh basi dengan riang, tertawa seperti panci gosong yang dibiarkan menggembung, Mereka terbiasa menyisipkan duri di bawah taplak meja, menggenggam sendok seperti cakar yang dilapisi sopan santun.
Aku duduk di ujung meja,
Mengunyah bubur dingin dengan gigi yang sengaja tidak kugosok, menelan getir yang disajikan setiap pagi, seolah pahit itu adalah warisan wajib yang tak boleh kutolak.
Di rumah ini, dapur selalu menyimpan bara, kompor tidak sekadar memanaskan air, ia mematangkan dendam dalam diam, mengukus amarah di bawah panci yang tertutup rapat.
Apakah aku terkuka?
Ternyata, Aku Manusia.
Tak ada yang meninggalkan meja dalam keadaan utuh, setiap sendok yang dikembalikan menghilangkan sebagian lidah, setiap piring kosong menyimpan sisa gusi yang tercabik,
dan setiap napas keluar membawa rasa besi yang tidak diundang.
Keluarga kami pandai memasak luka, memasaknya pelan, hingga kau tak sadar kau telah memakannya.
Kau kira itu sarapan, padahal yang kau kunyah adalah luka kami, yang secara gembira kau makan dengan lahap.