Langit sore membakar barisan perbukitan dengan warna merah darah. Di kejauhan, asap hitam membumbung dari sisa-sisa kota yang terbakar—jejak kemenangan pasukan bayaran pimpinan Kaelen Virel.
Di atas kuda hitamnya, Kaelen menatap reruntuhan itu tanpa emosi. Jubahnya kotor oleh darah dan debu, dan di pinggangnya tergantung pedang panjang yang masih meneteskan sisa kehidupan musuh-musuhnya.
"Lapor, Jenderal," suara prajurit muda memecah keheningan. "Kami menangkap satu bangsawan wanita saat penyerbuan di istana. Tampaknya dia bukan pelayan biasa."
Kaelen turun dari kudanya. "Tunjukkan padaku."
Di antara puing-puing dan mayat, seorang wanita muda duduk di tanah, tangannya terikat di belakang punggung. Wajahnya mulus tapi berlumuran abu, dan matanya menatap Kaelen dengan amarah yang membara, bukan ketakutan.
"Nama?" tanya Kaelen dingin.
"Seraphine Elourne," jawabnya. "Putri kedua Raja Marquent. Dan aku bersumpah—kau akan menyesal menyentuhku."
Kaelen tersenyum miring. "Aku sudah terlalu banyak menyesal dalam hidup. Satu lagi takkan membuatku peduli."
Ia mendekat, menunduk di hadapan wanita itu. Mata mereka bertemu—dua jiwa yang terlahir dari dunia yang keras, terikat bukan oleh cinta, tapi oleh luka dan dendam.
"Bawa dia ke kemahku," perintah Kaelen kepada bawahannya.
"Jenderal?" sang prajurit ragu.
"Dia tahanan kerajaan. Kita perlakukan dia... sesuai nilainya."
Seraphine tidak berteriak, tidak menangis. Tapi matanya membisikkan sumpah pembalasan. Dan Kaelen tahu—ini bukan sekadar wanita bangsawan biasa. Ini adalah bunga berduri. Dan ia baru saja menggenggam tangkainya.
---
Bab 1 selesai.