Cherreads

Chapter 8 - Bab 8 – Pemburu Dewa Menebas Bintang

Langit senja masih terbentang oranye keunguan saat Gohan ditekan keluar dari arena. Tubuhnya masih setengah lemas, tapi hatinya bergetar—antara lega dan was-was. Ilusi naga hijau pecah berserakan saat tribun runtuh dan cermin es dihancurkan, tapi satu bayangan tetap membekas: suara cermin itu, "Belum waktumu—pecahkan segel dulu."

Saat semua sibuk mengurus kerusakan, sebuah bayangan muncul di pinggiran arena—siluman berbaju hitam, berjalan tanpa jemawa, namun membawa aura dingin seperti kematian. Dia melangkah ke arah Gohan, langkahnya ringan, namun setiap pijakannya seperti menebas udara. Sorot matanya tajam, memelototi pedang emas di punggung Gohan.

Seketika napas Gohan membeku. Tubuhnya merespon: hati berdetak cepat, darah emasnya bergetar liar—kenapa ia merasa sosok ini lebih menakutkan daripada naga hijau?

"Gohan Lee," suara berat, dalam, dan dingin: "Kau membangkitkan kuku-kuku naga yang seharusnya tidur. Padahal kau belum siap menjadi tuannya."

Gohan mematung. "Siapa...?" suaranya tercekat. Nadanya setengah ketakutan, setengah menantang.

Bayangan itu tersenyum dingin, pedang panjang berkilau biru muncul. "Aku ... Zhao Wuji. Pemburu pewaris. Musuh yang kau lihat dalam kilasan itu... aku."

Seketika ingatan Gohan melesat: kilasan bayangan hitam di mimpi, tangan es itu—semuanya nyata. Dan kini, musuhnya berdiri di depan mata.

Yue Xiulan, pagi ini, memegangi tangan Gohan. Mereka berjalan menuju aula pertemuan—sudah diragukan di arena. Tiba-tiba jalan tertutup kabut tebal, dan ia mendengar suara mercusuar ocehan: "Dia datang..."

Kilasan itu membawa Xiulan ke depan air terjun—kabutnya membentuk wajah: Zhao Wuji, menatap tajam, pedangnya bersinar—dan kemudian es membekap tangan Xiulan, membekunya setengah. Darah keluarnya seperti perak, dingin dan menyala.

Zhao Wuji menebas angin dingin. Tanpa aba-aba, ia menyerang—kecepatan luar biasa. Gohan cepat bereaksi dengan memunculkan pedang; dua bilah bertemu, dentuman keras membelah udara magis. Aura darah emas milik Gohan dan dingin es membaur, menciptakan semburat indah dan menakutkan.

Namun Wuji lurus menyerang ke arah Xiulan—dia tidak mau buang waktu. Pedang Wuji menyerang lengan Xiulan: Hssst!

Gohan teriak marah, mundur melindungi, namun pedang Wuji melepas potongan kecil darah—darahnya Xiulan, menetes perak, berteriak seperti es yang mencair keras. Darah perak itu membuat aura malam makin muram.

Xiaulan terjatuh, matanya memicing kesakitan, namun ada pujian di tatapannya—seolah bangga Gohan membela.

Gohan meregangkan tubuh, napasnya tak karuan. Wuji terkesan: "Bagus—bagus—darah perak membeku jiwa... sedang darah emasmu hanya ingin menyelamatkan. Pilihanmu sudah Aku tafsir: kau membela, berarti kau memilih jalan potong hidupmu sendiri."

Gohan tersentak: ia sadar jalan dia tidak hanya soal kekuatan, tapi soal hati.

Pedang Wuji gemetar dingin—seperti jejak kutukan. Darah Xiulan bersinar perak, Gohan mengerang mempertahankan. Di tengah dentuman dan retakan sihir, pilihan pun muncul: apakah ia rela membahayakan dirinya demi melindungi yang dicintainya, atau memilih kekuasaan dan meninggalkan luka? Karena itu akan menentukan apakah ia akan menjadi pewaris sejati atau tumpahan darah bagi dunia...

Gohan bernafas cepat. Ia ingat nasehat Maestro: "Jangan hanya andalkan darahmu, tapi kendalikan aliran dan tujuanmu."

Ia mengangkat pedang, aura emas dan hijau menyatu lalu melingkupi Xiulan perlahan—ia menjauhkan diri darinya, menciptakan pelindung lembut.

"Urus Xiulan. Aku tahu kemarahanmu. Tapi aku harus berhati-hati," bisik Xiulan, menatap bersinar. Matanya penuh dengan kepercayaan.

Sementara itu, Qin Rouye tiba dengan serangan naga es–biru. Ia membelah udara dingin, merangsek ke sisi Gohan. Sekejap mereka back-to-back menghadapi Wuji.

Di tengah duel tiga penjuru itu, Gohan mendadak mengerti: ia bukan pejuang tunggal, tapi bagian dari jalinan—Yue, Qin, bahkan Wuji sebagai antitesis.

Pedang Wuji ditepis Qin, lalu Gohan menyerang memanfaatkan celah. Namun darah perak di tubuh Xiulan menyisakan aura beku yang mengganggu konsentrasinya—tiap ayunan berat terasa menahan.

Saat mereka bertarung, angin di arena berputar lambat, lalu… dari udara tipis muncul kilasan Gerbang Mitian—segi sembilannya tersisa di udara tinggi. Suara aduan naga melekat di langit.

Gohan merasakan dorongan dari pedangnya: "Bawakan segel." Ia ikut mendengar suara cermin–bayangan iblis itu: "Pecahkan segelmu, ambil kekuatannya."

Menggeleng, Gohan berteriak: "Tidak! Aku tidak ingin menjadi pecundang yang mencuri kekuatan iblis!" Dan seketika darah emasnya berkobar membentuk perisai kukuh.

Aura melawan aura: darah emas melawan kutukan hush semu. Suara naga hijau mengaum, memberi kekuatan pertahanan, menancap di hati mereka.

Qin dan Wuji saling dorong, pedang beradu. Tiba tiba darah Xiulan menetes ke tanah. Cahaya perak bergerak ke tanah, menciptakan semacam segel bercahaya putih–ungu.

Gerbang di udara merespon: segaris cahaya melesat dan bermain di tanah, memberi sinyal: hubungan darah emas dan perak berpotensi membuka portal kecil.

Wuji terkesiap: "Apa ini...?"

Xiulan tersenyum lemah: "Darah kita—dua garis ini... bisa membuka langkah ke dalam dunia lain. Tapi aku tak pernah berpikir darahku ini juga punya pengaruh..."

Gohan terdiam. Dunia berubah sekitar mereka.

Mereka bertiga berhenti sejenak—tidak saling menyerang, tapi menyadari energi baru telah berubah perimbangan kekuasaan.

Wuji menunduk, menenteng pedangnya: "Hari ini belum tamat." Ia mundur perlahan, matanya menahan keseriusan: "Kita akan bertemu lagi, pewaris. Tentukan jalurmu—apakah kau akan tumpahkan darah... atau membina kehidupan."

Dia berbelok, melesat pergi, meninggalkan mereka bingung dan terpaku.

Gohan menunduk, napasnya berat. Qin duduk di tanah, mengusap keringatnya. Xiulan memeluk Gohan, penuh lemah lembut: "Kau... melindungiku. Meskipun darah itu menjadi pengantar... kau membuatnya jadi penyelamat."

Gohan menatap Xiulan—hatinya penuh konflik. Ia tahu: ia membela bukan karena ini jalan kekuasaan, tapi karena ia tak bisa membiarkan darah pengorbanan pergi sia-sia.

Suara di kepalanya masih berdenting: "Belum waktumu—pecahkan segel dulu." Tapi kini Gohan punya jawaban: ia akan pecahkan segel... tapi bukan dengan mencuri kekuatan iblis. Ia akan pecahkan untuk kembali menjaga keseimbangan.

Namun, malam itu, di tengah kelembutan dan kelelahan, Gohan merasa ada getaran di udara—lebih berat daripada kilatan naga hijau. Dari jauh, sunyi tiba-tiba disayat oleh kiamat suara petir besar.

Lalu, rapuh dan dingin... terdengar bisikan dari langit:

"Kau Akan Menuntaskan Dosa Kami."

Dan sekali lagi, bayangan naga pura-pura muncul—tapi kali ini suaranya jadi satu: bukan peringatan, tapi janji kelam.

More Chapters