Cherreads

Immortal Forsaken

KONCO_LAWAS
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
666
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Immortal Forsaken

Bab 1 – Diusir Langit, Dibuang Dunia

Hujan turun tanpa henti di atas tanah yang retak. Angin membawa bau darah, lumpur, dan kesepian. Di kaki gunung kecil itu, ada sebuah gubuk reyot, tempat seorang anak laki-laki berusia tiga belas tahun menggenggam tangan ibunya yang kurus dan pucat.

Nama anak itu adalah Yan Xuan.

Dan dunia telah menolaknya sejak ia dilahirkan.

---

Di masa lalu, Yan Xuan adalah anggota klan ternama: Klan Yan dari Lembah Angin Timur. Tapi ia bukan penerus, bukan juga anak jenius—melainkan cucu dari istri selir yang dituduh membawa sial. Ayahnya hilang dalam misi, dan ibunya... lumpuh karena kutukan yang tak pernah dijelaskan siapa pun.

Sejak itu, ia dan ibunya hidup seperti hantu di halaman belakang klan.

Dihina. Diabaikan. Dihujat.

Sampai pada hari yang memutuskan segalanya.

---

Hari itu, seluruh tetua klan berkumpul. Salah satu artefak leluhur retak tanpa sebab. Mereka menyebutnya sebagai "tanda malapetaka"—dan entah bagaimana, jari mereka menunjuk ke satu nama:

> "Yan Xuan! Anak sial yang membawa kutukan!"

Ibunya memohon sambil merangkak, namun hanya ditendang oleh sepupu-sepupu yang dulu mereka rawat seperti keluarga.

> "Keluar dari klan! Sebelum langit murka pada kita semua!"

---

Mereka terusir.

Dengan tubuh ibunya yang ringkih dan luka di punggungnya, Yan Xuan berjalan menyusuri hujan malam menuju hutan luar desa. Ia menemukan gubuk kosong dan tinggal di sana, makan akar liar dan menjual kayu bakar untuk membeli obat murahan.

Hidup mereka kini hanya bergantung pada secercah harapan.

Namun dunia belum selesai menyiksa mereka.

---

Suatu pagi, Yan Xuan turun ke pasar desa membawa kantong kecil berisi uang dari hasil mencari kayu dan tanaman herbal. Ia berniat membeli obat untuk ibunya yang demam tinggi.

Namun seorang preman pasar menghadangnya.

> "Serahkan uangmu, bocah! Atau kubiarkan kau mati di sini!"

Wajah Yan Xuan pucat. Ia berusaha lari, tapi terjatuh ke pelukan si preman. Ia gemetar, memikirkan ibunya. Lalu, dengan air mata di mata dan bibir gemetar, ia menyerahkan uangnya.

> "Maaf... Ibu... aku tak bisa..."

---

Ia pulang dengan langkah goyah. Namun saat membuka pintu gubuk—

Ibunya tergelatak di tanah, tubuhnya menggigil dan kulitnya pucat membiru.

> "Ibu?! IBU!"

Ia berlari, menggendong ibunya, lalu memohon ke penduduk desa untuk bantuan.

> "Tolong! Tolong! Ibuku sekarat!"

Namun... tak satu pun mengulurkan tangan.

Desa itu tengah dilanda kekeringan dan kelaparan. Tak ada air. Tak ada belas kasihan.

> "Maaf, Xuan... kami juga berjuang untuk hidup."

---

Ia pun berjalan jauh, menyusuri jalan setapak ke kota terdekat sambil menggendong ibunya di punggungnya. Ia jatuh, bangkit, lalu jatuh lagi.

Di tengah hutan, saat hujan kembali turun, ia melihat seorang gadis berpakaian compang-camping berdiri di bawah pohon. Wajahnya lembut, tapi penuh luka.

Namanya adalah Lian Yu.

Melihat Yan Xuan yang lelah, gadis itu menawarkan tempat berteduh di gubuknya yang sederhana.

> "Tunggu di sini... aku akan cari tabib..."

---

Namun beberapa jam kemudian, Lian Yu kembali dengan tubuh penuh luka. Wajahnya lebam, bajunya robek.

> "Aku... Aku mencoba... tapi bandit mengambil semua uangku... mereka... memukuliku... karena aku tidak menyerahkan cincin ibu..."

Ia menangis, jatuh berlutut di depan Yan Xuan.

> "Maaf... aku gagal..."

Yan Xuan hanya menatap gadis itu. Ada kehancuran di matanya. Tapi ia tak berkata apa pun.

Malam itu, ibunya sadar sebentar. Ia memeluk tangan anaknya yang dingin.

> "Nak... tidak apa... ibu masih di sini... kau sudah berusaha..."

Esok paginya, Yan Xuan keluar sebentar untuk mengambil air hangat. Tapi ketika ia kembali...

Ibunya sudah tiada.

Tubuhnya membiru, matanya kosong, dan napasnya telah lenyap.

---

> "Ibu...? Ibu... bangun... aku sudah ambilkan teh... IBU!"

Ia mengguncang tubuh ibunya. Tapi tak ada jawaban.

Jeritan anak yang telah kehilangan segalanya menggema ke langit yang kelam. Dunia tak menjawab. Langit tetap diam.

---

Lian Yu memeluk Yan Xuan dari belakang. Ia gemetar, lalu berbisik:

> "Turut berduka, kak... Kita kuburkan beliau bersama..."

Mereka menguburkan ibunya di belakang gubuk.

Yan Xuan berdiri di depan pusara sederhana itu, lalu menunduk dan menggenggam tanah yang masih basah.

> "Langit menolak kami... dunia membuang kami... Tapi dengarlah ini, Ibu..."

"Aku... akan melawan semuanya."

Langit mengguntur perlahan, seakan menertawakannya.

Namun itulah awal.

Awal dari seorang anak terbuang yang kelak akan menantang surga.

Bab 2 – Jalan yang Tidak Diampuni

Sejak hari pemakaman itu, Yan Xuan tak pernah lagi sama.

Langit telah mengambil segalanya.

Dan balasan hanyalah masalah waktu.

Selama berhari-hari ia hanya duduk di depan pusara ibunya, diam. Tidak makan. Tidak tidur. Tidak menangis lagi. Hatinya telah kering, tapi matanya menyala dengan api yang tak bisa padam.

> "Aku akan menjadi kuat, Bu...

Aku tidak akan membiarkan siapa pun lagi dirampas oleh dunia ini..."

---

Hari demi hari, ia mengayuh hidupnya seperti mayat berjalan.

Namun semangatnya masih menyala.

Ia mulai melatih tubuhnya di balik hutan. Menumbuk batu dengan tangan kosong, mengangkat batang pohon, dan berlari tanpa henti meski lututnya berdarah.

Tak ada guru.

Tak ada teknik.

Hanya dendam dan niat.

Sampai suatu malam—di tengah hujan lebat dan tubuhnya yang demam—ia pingsan di pinggir sungai.

---

Ketika ia membuka mata...

Ia berada di dalam sebuah gubuk tua.

Seseorang sedang menyiapkan ramuan pahit di atas tungku.

Orang itu adalah seorang lelaki tua berjenggot abu-abu, dengan mata tajam dan tangan kasar. Pakaiannya lusuh, namun aura di sekelilingnya berat—bagaikan gunung diam.

> "Kau masih hidup karena nasibmu belum selesai," ucapnya datar.

> "Siapa kau…?" tanya Yan Xuan lemah.

> "Namaku tak penting. Tapi aku melihat semangat di matamu—api yang bahkan badai pun tak bisa padam."

Orang tua itu adalah mantan kultivator... seseorang yang pernah menginjak ranah puncak, namun memilih menghilang dari dunia.

---

Ia mengajarkan Yan Xuan dasar-dasar kultivasi.

Tentang Qi. Tentang jalur meridian.

Tentang Ranah Immortal.

> "Ada 15 tahapan kultivasi utama dalam jalan menuju keabadian.

Tapi bagi orang seperti kita, yang dibuang langit—tiap langkah adalah siksaan."

> "Dan jalanmu, Yan Xuan, bukanlah jalan suci...

Tapi jalan berdarah yang takkan diampuni."

---

Ranah Kultivasi Immortal (Dasar):

1. Pengumpulan Qi (Qi Gathering)

2. Pembukaan Meridian (Meridian Opening)

3. Pematangan Inti (Core Foundation)

4. Pembentukan Inti (Core Formation)

5. Pemisahan Jiwa (Soul Split)

6. Penguatan Jiwa (Soul Tempering)

7. Langkah Immortal Awal (Initial Immortal Step)

8. Ranah Ascendant (Pendaki Surga)

9. Transendensi Tubuh (Body Transcendence)

10. Ranah Nirwana (Nirvana Realm)

11. Jantung Surga (Heart of Heaven)

12. Jiwa Langit (Heaven's Soul)

13. Pilar Keabadian (Immortal Pillar)

14. Tuan Surga (Heaven's Lord)

15. Immortal Sejati (True Immortal)

---

> "Namun ingat," kata si kakek, matanya menyipit,

"Semakin tinggi kau melangkah, semakin besar dosa yang akan kau timbun.

Karena untuk naik ke puncak… kau harus menginjak banyak kepala."

Lalu si kakek mengucap sebuah puisi pendek—datar, dingin, menusuk:

> "Langit tak adil bagi yang lemah,

Tanah tak merangkul mereka yang dibuang.

Tapi darah adalah tinta,

Dan dendam adalah jalanku untuk menulis ulang takdir."

---

Yan Xuan mengukir puisi itu dalam hatinya.

Dan sejak hari itu, ia memulai pelatihan kultivasinya secara resmi, dimulai dari Ranah Pengumpulan Qi.

Tahun-tahun berlalu...

Di tengah malam yang sunyi, suara tinjunya memecah batu. Nafasnya menyatu dengan alam. Qi perlahan-lahan mengalir dari dunia masuk ke tubuhnya. Meridian-nya terbuka satu per satu dengan rasa sakit luar biasa.

---

Hingga suatu hari, ia kembali ke gubuk…

Dan mendapati si kakek tengah bertarung melawan sekelompok kultivator bertopeng.

Darah bercucuran. Tanah terbelah.

Yan Xuan hanya sempat melihat tubuh sang guru tertancap tombak hitam di dada sebelum roboh dengan senyum tipis di wajahnya.

> "Jangan ikuti jalanku...

Lewatilah aku."

---

Yan Xuan tidak menangis. Tidak teriak.

Ia tertawa—pelan... lalu makin keras.

Air matanya jatuh, tapi wajahnya tersenyum.

Rambutnya perlahan memutih, berubah warna karena pengaruh Qi yang liar dan guncangan emosi yang ekstrem.

> "Kalian... sudah mati."

"Cuma belum kubunuh saja."

Dan dengan itu...

Jalan tanpa ampun itu dimulai.

Bab 3 – Ujian di Akademi Langit Timur

Tiga tahun telah berlalu sejak kematian sang guru.

Yan Xuan, kini remaja berusia tujuh belas, berjalan menuju gerbang Akademi Langit Timur—tempat para calon kultivator muda dari seluruh negeri mengadu nasib.

Pakaiannya lusuh. Tubuh kurusnya tampak biasa saja.

Tapi matanya... seperti jurang hitam yang menyimpan badai dendam.

Orang-orang memandangnya sinis.

> "Lihat dia... anak desa miskin ingin jadi kultivator?"

"Huh, jalan saja pakai alas kaki bolong, mau ikut ujian akademi?"

"Buang-buang tempat! Harusnya cuma bangsawan yang boleh daftar!"

Tawa dan hinaan menyambut langkah pertamanya.

Tapi ia diam saja.

Karena dalam pikirannya, mereka semua... hanya bayangan yang bisa dilindas suatu saat nanti.

---

Tes Pertama: Batu Pengukur Potensi Qi

Di hadapan peserta, sebuah batu kristal besar berpendar biru.

Setiap calon harus menyentuhnya. Semakin kuat sinar yang muncul, semakin besar potensi kultivasi mereka.

Bangsawan satu per satu maju.

Ada yang mengeluarkan cahaya hijau terang.

Ada pula yang membuat batu bergemuruh. Semua bertepuk tangan.

Saat giliran Yan Xuan tiba, orang-orang menguap.

> "Hah, dia bisa bikin batu itu bersinar aja udah keajaiban."

Yan Xuan menempelkan tangannya...

…tak terjadi apa-apa.

Sunyi. Tak ada cahaya. Tak ada getaran.

> "Hahahaha! Nihil! Nol! Gak ada bakat!"

"Dia cuma pengganggu. Suruh pulang kampung!"

Tapi para tetua penguji justru menatap tajam, raut wajah mereka berubah tegang.

> "Tunggu... kenapa kristalnya dingin...? Tak wajar..."

Bab 5 – Pelelangan Darah: Giok Rahasia dari Zaman Immortal

Setelah bertemu kembali dengan Lin Yue, Yan Xuan memutuskan untuk meninggalkan hutan terlarang sementara waktu.

Kekuatan barunya—yang belum stabil—membutuhkan media latihan, dan dia mendengar kabar:

> Di pusat kota Tianmu, akan diadakan Pelelangan Darah—lelang barang-barang kuno dari reruntuhan zaman Immortal, termasuk satu artefak langka:

Giok Salju Hitam, yang konon menyimpan peta menuju Reruntuhan Kaisar Abadi.

---

Tiga Hari Sebelum Pelelangan

Yan Xuan kembali ke kota dengan jubah lusuh, menyamar sebagai pengembara.

Ia menjual beberapa ramuan langka hasil pembelajaran dari Mo Wujin untuk mendapat cukup uang.

Tapi saat akan mendaftar sebagai peserta pelelangan, ia bertemu dengan seseorang yang membuat dadanya sesak.

> "Heh? Bukankah ini Yan Xuan? Cucu pelayan dari Klan Fei?!"

Ujar seorang pemuda angkuh—Fei Lin, anak kedua kepala klan Fei yang dulu mengusir ibu Yan Xuan.

> "Apa kau datang mau beli... atau cuma bersihkan lantai?"

Tawa bangsat-bangsat dari Klan Fei meledak.

Yan Xuan diam, tapi darahnya mendidih. Ia hanya berkata pelan:

> "Kalian akan tahu... siapa yang akan tunduk di pelelangan ini."

---

Hari Pelelangan

Gedung utama pelelangan penuh sesak.

Tokoh-tokoh dari sekte besar, klan bangsawan, hingga pedagang Qi ternama hadir.

Termasuk... Lin Yue, yang kini bekerja sebagai pelayan di tempat lelang itu.

Saat artefak Giok Salju Hitam diperlihatkan, suasana mendadak hening.

Sinar lembut menyelimuti ruangan. Banyak orang terkesima.

> "Peninggalan dari zaman Immortal...

Benda itu mengandung jejak Kehendak Abadi. Siapa yang memilikinya, bisa menembus ke Ranah Surga dalam waktu singkat."

Fei Lin berdiri dan membuka tawaran:

> "200 ribu koin emas! Siapa yang berani menawar?!"

Yang lain ragu.

Tapi kemudian, dari sudut ruangan, suara tenang menyusul:

> "300 ribu."

Semua menoleh.

> "Siapa—?!"

Yan Xuan berdiri dengan wajah tenang.

Jubah hitam, rambut diikat rendah, dan mata... seperti jurang tak berdasar.

Fei Lin marah.

> "Kau bahkan tak pantas jadi pelayan di sini! Dari mana kau dapat uang?!"

> "Dari darah.

Darah yang kubayar selama hidupku dibakar oleh dunia ini."

---

Saat Giok Hampir Dimenangkan Yan Xuan...

Tiba-tiba, sinyal siaga berbunyi.

Seseorang melapor: markas tempat lelang diserbu!

> "Itu... orang-orang dari Sekte Serigala Darah!"

"Mereka datang untuk merebut giok itu!"

Panik menyelimuti semua orang.

Fei Lin berusaha lari sambil berteriak:

> "Jaga artefak itu! Aku akan kabur lebih dulu!"

Yan Xuan hanya tersenyum miring.

> "Sama seperti dulu...

Lari dari tanggung jawab, meninggalkan semua."

---

Pertarungan Berdarah

Sekte Serigala Darah menurunkan enam orang dengan kekuatan di atas Ranah Ketiga – Inti Darah.

Satu per satu penjaga lelang roboh.

Yan Xuan maju.

> "Biarkan aku yang urus mereka."

Orang-orang tertawa. Tapi Lin Yue menatap Yan Xuan... dan hanya dia yang tahu:

Lelaki itu bukan manusia biasa lagi.

---

Yan Xuan mengaktifkan teknik Langkah Bayangan Mati.

Dalam satu hembusan napas, dia muncul di belakang pemimpin musuh dan—

Satu tebasan gelap memutus kepala lawan.

> "Aku tak butuh restu langit...

Karena malam adalah temanku."

Pertarungan usai dalam waktu singkat.

Orang-orang terpaku melihat pemuda lusuh mengalahkan kultivator kuat tanpa berkeringat.

---

Setelah Kekacauan Reda

Yan Xuan menyimpan giok itu.

Tapi ketika hendak pergi, suara Fei Lin yang ketakutan terdengar:

> "Jangan ambil artefaknya! Itu milik—milik keluarga besar!"

Yan Xuan menatapnya dingin.

> "Saat ibuku sakit, tak satu pun dari kalian memberi air.

Sekarang, benda ini... adalah bagian dari pembayaran.

Jangan ganggu aku, kalau tak ingin kehilangan sesuatu yang lain... seperti kepala kalian."

Fei Lin terdiam, gemetar.

Batu itu tidak mati, tapi ketakutan.

Batu itu, yang terbentuk dari energi langit, menolak mengukur aura seseorang yang telah 'dimurkai langit'.

Seorang... yang berada di luar takdir.

---

Meski begitu, karena desakan peserta lain, Yan Xuan tetap diizinkan masuk...

Sebagai murid luar, status terendah yang hanya diberi hak tinggal dan belajar dasar, tanpa pelindung, tanpa sumber daya, dan penuh penghinaan.

---

Hari-Hari di Akademi

Hari-hari berlalu dengan perlakuan kejam.

Di ladang latihan, ia jadi bahan tertawaan.

Di ruang makan, makanannya disabotase.

Di tempat tidur, ia dilempari lumpur.

Ia bersabar.

Tapi seperti embun di pagi hari, kesabaran juga bisa menguap.

---

Hingga suatu hari, di tengah sesi latihan bela diri...

Seorang murid bangsawan menendang dadanya, membuatnya jatuh ke tanah keras.

> "Kau cocoknya menyembah kami, bukan jadi murid di sini!"

Tawa meledak.

Tapi untuk pertama kalinya, Yan Xuan tak tinggal diam.

Ia berdiri perlahan. Mata menyala. Qi-nya melonjak liar.

> "Yang kuat akan dihormati…

Yang lemah hanya akan diinjak.

Maka hari ini… biarlah kukenalkan rasa diinjak pada kalian!"

Ia menyerang balik.

Bertarung tak seperti murid biasa.

Tiap pukulan mengandung kemarahan yang telah lama terpendam.

Namun... meski ia berhasil melukai lawannya, dia tetap kalah jumlah. Beberapa murid lain menyerangnya bersama-sama.

Tubuhnya terkapar. Darah di bibir.

Namun sebelum pingsan, ia berteriak:

> "Kau semua boleh mencaciku...

Tapi satu hari nanti, kalian akan menyembah tanah yang kupijak!"

---

Ia kabur ke hutan terlarang di belakang akademi.

Tubuhnya luka, tetapi semangatnya masih utuh.

Dan di sanalah, di sebuah jurang tersembunyi...

Ia bertemu dengan seorang lelaki tua, berjubah hitam, yang tengah berdiri di atas bambu, seperti tak tersentuh angin.

> "Bocah, kau membawa luka yang lebih dalam dari luka di tubuhmu...

Apa kau ingin membalas takdir?"

> "Tidak," ujar Yan Xuan dengan mata tajam.

"Aku ingin menghancurkan takdir."

Kakek itu tertawa pelan.

> "Bagus. Maka kuajarkan padamu seni bela diri yang dunia telah lupakan...

Ilmu yang hanya diwarisi oleh mereka yang telah dibuang langit dan dikutuk bumi."

Bab 4 – Teknik Kutukan Langit, Jalan Iblis yang Membisu

Hutan itu sunyi.

Tidak ada angin. Tidak ada suara serangga.

Seolah waktu membeku ketika Yan Xuan berdiri di hadapan lelaki tua berjubah hitam itu.

> "Namaku... sudah lama dilupakan," kata lelaki itu.

"Tapi dunia pernah menyebutku Mo Wujin – Iblis Langit yang Tak Termaafkan."

Yan Xuan terdiam. Ia tahu legenda itu.

Mo Wujin, mantan kultivator puncak yang diasingkan karena melanggar batas langit, menggunakan teknik terlarang yang bisa menghancurkan fondasi dunia.

> "Mengapa kau mau membantuku?" tanya Yan Xuan curiga.

"Aku tidak punya apa-apa."

> "Karena kau... mirip aku," jawab Wujin.

"Sama-sama dikhianati langit. Sama-sama kehilangan segalanya.

Tapi masih berdiri. Dan masih... haus keadilan."

---

Lalu, lelaki itu mengajarkan sesuatu yang bahkan tak pernah disebut di akademi, atau pun dicatat di naskah kuno.

Teknik Kutukan Langit – Jalan Iblis yang Membisu

Sebuah seni bela diri dan kultivasi yang tidak memakai "doa", tidak memakai "meditasi damai",

tetapi menggunakan emosi tergelap sebagai bahan bakar.

> "Kemarahanmu, dendammu, bahkan rasa takutmu...

Itu semua akan jadi Qi. Tapi... harga yang harus kau bayar adalah... jiwa."

---

⚠️ Peringatan dari Wujin:

> "Begitu kau masuk ke jalur ini, tidak ada jalan kembali.

Kau akan menjadi kuat...

Tapi dunia akan memanggilmu iblis.

Dan langit akan mencoba membunuhmu sendiri."

Yan Xuan hanya menjawab dengan senyum kecil.

> "Kalau langit ingin membunuhku,

maka biar aku... membunuh langit lebih dulu."

---

Ia mulai berlatih.

Setiap malam, tubuhnya bergetar.

Qi di dalam tubuhnya liar, nyaris meledak.

Rasa sakitnya seperti ditusuk ribuan jarum dari dalam.

Namun tubuhnya semakin kokoh.

Qi-nya menjadi gelap, dalam, dan tajam.

Setelah tiga bulan, ia berhasil menembus Ranah Kedua – Pembukaan Meridian,

dan bahkan meretas satu teknik pertama dari Jalan Iblis:

> "Langkah Bayangan Mati"

→ Teknik gerakan yang memungkinkan tubuh menjadi tak terlihat dalam bayangan, dan menembus ruang singkat.

---

Suatu malam, setelah latihan, Yan Xuan berdiri di tebing tinggi memandang langit.

> "Ibu...

Aku tahu, di jalan ini aku mungkin bukan lagi anakmu yang baik.

Tapi aku janji...

Takdir yang membunuhmu akan kupatahkan."

---

Di Hari yang Sama...

Di pasar kota, seorang gadis dengan pakaian sederhana sedang menggendong keranjang. Wajahnya pucat.

Dia adalah Lin Yue, gadis yang pernah menolong Yan Xuan di masa lalu.

Namun sekarang, dia hidup sendiri, terlunta-lunta.

> "Kak Yan... kau ke mana selama ini?" bisiknya.

Takdir mempertemukan mereka kembali di waktu yang tak terduga.

Karena malam itu, Yan Xuan, dengan jubah hitam dan wajah yang tak dikenali,

menyelamatkan Lin Yue dari sekelompok bandit yang sama seperti masa lalu.

---

Setelah pertarungan selesai, Lin Yue melihat pria bertopeng itu.

> "Tunggu... mata itu... kau Yan Xuan?"

Pria itu terdiam. Angin malam meniup jubahnya perlahan.

Akhirnya, ia melepaskan penutup wajahnya.

> "Maaf... aku datang terlambat."

Lin Yue menitikkan air mata.

Ia menggenggam tangannya.

> "Kau... berbeda."

> "Karena aku tak bisa lagi menjadi seperti dulu, Yue."

"Dunia tak memberi ruang bagi kelembutan."

Bab 6 – Reruntuhan Kaisar Abadi dan Teknik dari Era yang Terhapus

Beberapa minggu telah berlalu sejak insiden di pelelangan.

Di tengah gemuruh dunia kultivasi, satu nama mulai dibicarakan dalam bisik-bisik:

> "Pemuda misterius berjubah hitam... yang membantai anggota Sekte Serigala Darah sendirian."

Namun Yan Xuan tidak peduli. Ia hanya memusatkan pikirannya pada satu hal:

Giok Salju Hitam.

Artefak itu kini berada di tangannya. Dan setelah menguraikan ukiran kuno di dalamnya, ia menemukan koordinat menuju lokasi yang telah lama hilang dari sejarah:

> Reruntuhan Kaisar Abadi – tempat jatuhnya seorang raja langit yang dilupakan zaman.

---

Perjalanan ke Reruntuhan

Reruntuhan itu terletak di lembah tersembunyi, diselimuti kabut merah darah yang tak pernah hilang meski diterpa hujan atau matahari.

Kabarnya, tempat itu ditutup oleh formasi langit selama ribuan tahun karena…

> "Apa pun yang mati di sana… tidak ingin tetap mati."

Saat Yan Xuan tiba, puluhan kultivator telah berkumpul.

Beberapa dari sekte besar, lainnya pemburu harta yang putus asa.

> "Reruntuhan ini… tidak terbuka untuk sembarang orang," kata seorang lelaki bertubuh besar dari Sekte Pedang Merah.

"Kau terlalu muda. Pulang saja sebelum tubuhmu jadi bagian dari tanah ini."

Yan Xuan menatap datar.

> "Yang muda belum tentu lemah. Yang tua belum tentu bijak."

"Tapi yang sok kuat... cepat mati."

---

Pintu Reruntuhan Terbuka

Dalam dentuman besar, kabut darah berputar dan formasi kuno runtuh.

Pintu batu berukir wajah raksasa terbuka perlahan, menghembuskan hawa dingin bercampur bau busuk kematian.

Beberapa orang langsung masuk. Tapi saat mereka melangkah...

Jeritan terdengar.

Mayat-mayat di lantai reruntuhan tiba-tiba bergerak, mencabik-cabik mereka.

Yan Xuan menggunakan Langkah Bayangan Mati, menyelinap tanpa suara ke dalam lorong gelap.

> "Ini... bukan hanya reruntuhan," gumamnya.

"Ini... kuburan perang kuno."

---

Di Dalam Reruntuhan

Di salah satu ruangan dalam, ia menemukan lukisan berdarah yang menggambarkan seorang pria berjubah emas dengan tanduk iblis di kepalanya, memegang tombak besar dan dikelilingi tumpukan mayat.

> "Itu... Kaisar Abadi yang Terlupakan," gumam Yan Xuan.

"Dikhianati langit... dan dikutuk oleh dunia. Sama sepertiku."

Tak jauh dari lukisan itu, ada sebuah pilar batu, dan di atasnya mengambang gulungan cahaya hitam.

> "Teknik... dari zaman yang dihapus sejarah?"

Ia menyentuhnya.

---

[Peringatan Terdengar di Dalam Kepalanya]

> "Kau telah membuka Segel Abadi Terlarang."

"Teknik ini hanya bisa dipelajari oleh mereka yang telah menolak takdir dan siap melawan langit."

"Apakah kau siap... kehilangan kemanusiaanmu?"

> "Aku telah kehilangannya sejak dunia membunuh ibuku."

---

Teknik yang Didapat: Kutukan Kehendak Abadi

> ▸ Teknik bela diri langit yang menyerap kekuatan jiwa musuh yang dikalahkan, memperkuat Qi pengguna.

▸ Meninggalkan bekas kutukan pada tubuh dan wajah, menjadikan pemiliknya terlihat menyerupai iblis.

▸ Memberi kemampuan sementara untuk menembus ranah lebih tinggi di tengah pertempuran... dengan harga: nyawa yang diperpendek.

Yan Xuan tersenyum dingin.

> "Aku tidak butuh umur panjang...

Aku hanya butuh kekuatan cukup lama untuk membunuh mereka semua."

Bab 7 – Buronan Dunia: Ketika Nama Menjadi Dosa

Sejak Yan Xuan keluar dari Reruntuhan Kaisar Abadi, dunia mulai berubah.

Langit lebih muram. Hawa dunia seakan lebih berat.

Dan yang paling nyata:

Nama Yan Xuan—yang dulu tak berarti—kini bergema di setiap penjuru daratan.

> "Dia mencuri teknik terlarang dari zaman Immortal."

"Mayat-mayat hidup bangkit di mana dia berjalan."

"Dia membawa kutukan langit..."

Dalam sekejap, Yan Xuan jadi buronan.

Dicari oleh sekte besar, diburu oleh pemburu hadiah, dan dicap sebagai ancaman keseimbangan dunia kultivasi.

---

Di Balik Perburuan Itu

Namun, bukan hanya karena teknik terlarang.

Beberapa sekte besar merasa terancam...

Karena melihat dalam diri Yan Xuan bayangan kaisar yang telah mereka khianati ribuan tahun lalu.

> "Dia... memiliki kehendak yang tak bisa dibelenggu. Seperti Kaisar Abadi."

"Kalau kita tak menghapusnya sekarang, dia akan membakar ulang sejarah."

---

Dalam Pelarian

Yan Xuan kini hidup dalam bayang-bayang.

Bersama teknik Kutukan Kehendak Abadi, ia membunuh para pengejarnya satu demi satu.

Tapi setiap pertarungan meninggalkan jejak kutukan di tubuhnya—urat hitam menjalar, matanya semakin tajam, auranya... tak lagi seperti manusia biasa.

> "Kau sudah bukan manusia lagi," kata Lin Yue suatu malam saat mereka bersembunyi di gua es.

"Tapi hatimu… masih berdetak. Aku tahu itu."

Yan Xuan menatap langit.

> "Kalau harga dari kekuatan adalah kehilangan diriku...

Maka biarlah dunia ini melihat monster."

"Tapi aku akan jadi monster yang memutus rantai takdir."

---

Rencana Besar Sekte Langit Pedang

Di sisi lain, sekte besar Langit Pedang, yang dulu ikut mengusir ibunya, kini menyusun rencana:

> "Kita akan adakan pertemuan tujuh sekte. Kita sebarkan berita bahwa siapa pun yang membawa kepala Yan Xuan akan mendapatkan posisi elder di Sekte Langit."

"Dan kita buka... Perang Pemburuan Abadi."

---

Tertawa di Antara Jerat

Malam itu, Yan Xuan duduk di atas batu, rambutnya ditiup angin liar, tubuhnya dipenuhi luka, tapi mata—mata itu... bersinar seperti bintang yang menolak padam.

> "Mereka ingin kepalaku…"

"Baik. Tapi sebelum mereka menyentuh leherku—aku akan membuat mereka berlutut atas dosa masa lalu mereka."

Dia mengambil lukisan ibunya yang sudah usang dari dalam jubahnya.

Darah mengalir dari matanya.

Ia tak tahu itu air mata… atau hanya kebencian yang membentuk bentuk lain.

> "Ibu… tunggu aku di ujung neraka.

Aku akan kirim mereka satu per satu ke sana."

Bab 8 – Neraka Tertawa: Saat Kutukan Jadi Senjata

Langit tak pernah lebih kelam dari malam itu.

Hujan turun bukan seperti air—melainkan seperti cucuran arwah yang menjerit dari dunia bawah.

Di antara kabut dan badai, Yan Xuan berdiri seorang diri.

Tubuhnya dibungkus jubah hitam robek, kulitnya pucat dan berurat hitam pekat,

kutukan kini menutupi hampir seluruh tubuhnya.

Tapi yang paling menusuk bukanlah luka-luka atau tubuhnya yang berubah…

Melainkan sepi yang menggerogoti jiwanya.

---

Lin Yue Menghilang

Beberapa hari lalu, saat mereka berpisah untuk mengalihkan pengejar,

Lin Yue tak pernah kembali.

> "Kalau aku tidak kembali… jangan mencariku," katanya dengan senyum yang dipaksakan.

"Aku akan baik-baik saja."

Tapi jauh di hati Yan Xuan… ia tahu.

> Dia tidak akan kembali.

Seorang gadis sepertinya, tulus, lemah, murni—

Tidak akan bertahan lama di dunia yang menghukum kebaikan.

---

Seketika Dunia Jadi Dingin

Dalam sebuah hutan mati, Yan Xuan bersandar di pohon tua.

Ia memandangi tangan kanannya yang kini berubah warna kehitaman.

> "Kutukan ini... membakar jiwaku perlahan. Tapi rasa sakit itu... jauh lebih baik daripada rasa kehilangan."

Ia memejamkan mata.

Dan untuk pertama kalinya sejak ibunya meninggal,

ia menangis.

Tapi air matanya bukan bening.

> Itu darah.

---

Saat Dunia Menjadi Neraka

Ketika para kultivator dari tujuh sekte besar mengepungnya,

Yan Xuan berdiri di atas bukit, angin meniup jubahnya yang koyak.

> "Yan Xuan!" teriak pemimpin Sekte Langit Pedang.

"Serahkan teknik terlarangmu dan kepala kalian akan kami kubur dengan hormat!"

Ia menatap mereka… lalu tersenyum.

> "Aku tidak pernah meminta dunia ini mencintaiku."

"Aku hanya ingin... mereka yang menghancurkan hidupku… ikut mati bersamaku."

Ia merentangkan tangan, tubuhnya memancarkan aura hitam pekat seperti kabut neraka.

> Kutukan Kehendak Abadi: Teknik Ke-3 – Neraka Tertawa.

Langit berubah merah darah.

Dari tanah, tangan-tangan hitam muncul—mencengkeram kaki para kultivator.

Jeritan terdengar, darah menyembur, dan kepala-kepala melayang.

Tapi di tengah tawa kutukan itu… Yan Xuan menangis.

> "Ibu… Yue…

Aku sudah jadi iblis. Tapi kenapa... hatiku masih merasa kosong?"

---

Kutukan yang Membalas

Saat semua musuh mati dan medan perang hening, tubuh Yan Xuan jatuh bersimpuh.

Kutukan menyelimuti wajahnya, satu matanya buta, tangannya membusuk,

tapi ia tetap menggenggam liontin milik Lin Yue.

> "Mungkin... aku tidak ditakdirkan untuk diselamatkan."

"Tapi aku bersumpah… akan menghancurkan dunia yang menciptakan monster sepertiku."

Bab 9 – Kedalaman Kekosongan: Saat Jiwa Memutus Langit

Langit malam berubah kelam tak biasa, seperti mengenakan jubah duka dunia.

Bintang-bintang enggan bersinar, seakan tahu bahwa di bawah sana…

seorang jiwa tidak lagi ingin hidup.

Di puncak tebing sunyi, Yan Xuan duduk sendiri.

Di bawah kakinya, lautan awan hitam berputar, menelan cahaya dunia.

Tubuhnya rusak.

Jiwanya sobek.

Namanya dicerca.

Dan hatinya… kosong.

> "Semua orang punya alasan untuk bertahan hidup. Tapi aku…

Aku hanya bertahan untuk membunuh."

---

Kehilangan Jati Diri

Kutukan terus menjalar—sekarang tidak hanya di tubuh,

tetapi mulai menggerogoti ingatan dan emosi.

Yan Xuan terkadang lupa siapa dirinya.

Lupa wajah ibunya.

Lupa suara Lin Yue.

Yang tersisa hanyalah... rasa benci.

> "Aku tak ingin menjadi iblis… tapi dunia terus mendorongku."

---

Makam yang Terlupakan

Satu malam, Yan Xuan kembali ke bekas gubuk tempat ia dan ibunya dulu tinggal.

Sudah hancur, tertimbun lumpur, ditelan alam.

Tapi ia tahu… di bawah batu besar, masih ada makam kecil tanpa nama.

Ia berlutut, tangan gemetar.

> "Ibu… maafkan aku. Aku tak bisa menjadi anak yang baik."

"Aku tak bisa membalas dengan kebaikan... jadi aku membalas dengan darah."

Di samping makam itu, ia gali satu lubang kecil.

Dari jubahnya, ia keluarkan liontin Lin Yue yang pecah.

Ia kuburkan itu.

> "Kalian satu-satunya cahaya dalam hidupku. Tapi langit mengambil kalian.

Sekarang, aku tak butuh cahaya lagi."

---

Langkah ke Dunia yang Lebih Dalam

Setelah mengubur semuanya—kenangan, cinta, dan harapan—

Yan Xuan berdiri dengan sorot mata yang tak lagi manusiawi.

> "Kalau dunia ini menolak orang seperti aku…

Maka aku akan buat dunia baru, dari abu-abu dan kutukan."

Ia membuka gulungan kuno warisan reruntuhan:

Teknik Terlarang keempat – Langkah Jiwa ke Kekosongan.

Saat ia menekan gulungan itu ke dadanya,

jiwanya terlempar ke dimensi lain—alam antara hidup dan mati.

---

Dalam Kekosongan

Gelap.

Sunyi.

Tak ada waktu, tak ada ruang.

Cuma jiwa Yan Xuan yang melayang,

dipenuhi jeritan orang-orang yang ia bunuh,

dipenuhi tangisan dari kenangan yang ia kubur.

> "Apa kau ingin kembali?"

suara dari kegelapan bertanya.

"Untuk apa?" jawab Yan Xuan.

"Dunia hanya tempat untuk saling membunuh."

> "Lalu jadilah pemilik kekosongan.

Bangun dunia dari hatimu yang hancur."

---

Bangkitnya Takdir Baru

Dalam dunia itu, Yan Xuan membuka mata.

Tubuh lamanya telah hancur. Tapi jiwanya—

menyatu dengan kekosongan,

memutus semua batasan duniawi.

Saat ia kembali ke dunia nyata, matanya bersinar perak gelap,

auranya menekan hingga tanah retak,

dan ranahnya naik—ke tingkat baru: Void Immortal.

> "Aku bukan lagi milik dunia ini."

"Aku adalah sisa dari takdir yang ditolak langit."

"Aku adalah… Immortal yang Terlupakan."

Bab 10 – Bangkitnya Dunia Tanpa Cahaya: Jalan Seorang Void Immortal

Langkah Yan Xuan semakin menjauh dari dunia fana. Dalam keheningan malam tanpa bintang, di sebuah gunung sepi yang ditinggalkan oleh waktu, ia berdiri seorang diri. Tubuhnya dibalut pakaian compang-camping, tetapi matanya menyala penuh kesadaran baru—kesadaran akan makna sejati dari hidup dan kematian.

"Manusia..." gumamnya lirih, menatap langit kelam. "Tak ada yang abadi. Namun, dalam kefanaan itulah tersembunyi kunci keabadian."

Ia telah melewati ratusan tahun menjadi manusia biasa, menghapus jejak energi jahat dalam dirinya, hidup sebagai tabib yang merawat orang miskin, menyembuhkan tanpa pamrih. Ia menyaksikan manusia lahir dan mati, mencintai dan ditinggalkan, membenci dan memaafkan. Dalam kehidupan fana itu, ia memahami: kekuatan sejati bukan hanya dalam pukulan dan jurus, tetapi dalam hati yang bersih dari keinginan merusak.

Suatu malam, dalam meditasi yang dalam, ia seolah tenggelam ke dalam kekosongan abadi. Jiwa dan tubuhnya larut ke dalam kehampaan, menyatu dengan kegelapan yang sunyi. Di sanalah ia bertemu seorang kakek tua berjanggut putih panjang, mengenakan jubah hitam berhiaskan bintang mati.

"Kau telah memahami satu hal yang tidak dimiliki para immortal: kehampaan. Kekosongan bukan kelemahan, melainkan fondasi kekekalan sejati," kata sang lelaki tua, suara bergema bagaikan dari langit runtuh.

"Siapa kau?" tanya Yan Xuan.

"Aku... adalah bagian dari dirimu. Aku adalah jejak kesadaran para Void Immortal, mereka yang menolak surga dan neraka, yang memahami hakikat manusia sebelum mencapai keabadian."

Yan Xuan terdiam. Ia tahu jalannya telah berubah. Ia tak lagi mengejar kekuatan untuk balas dendam semata. Ia sekarang berjalan di jalan yang tidak banyak orang pilih—jalan sepi seorang Void Immortal.

Dunia di sekelilingnya mulai berubah. Langit tidak lagi biru, tanah tak lagi hijau. Dunia terbalik oleh kehampaan dalam dirinya. Ia sadar, kekuatan baru ini menuntut satu hal: pengorbanan. Untuk memikul dunia, ia harus siap meninggalkan sisi manusianya.

"Apakah aku harus melupakan semuanya?" bisiknya.

"Tidak. Kau harus mengingatnya. Sebab kenangan itulah yang akan menjaga jiwamu tetap manusia, meski kekuatanmu melampaui langit."

Dalam pekatnya malam, Yan Xuan membuka matanya. Cahaya hitam menyala dari pupilnya. Dunia telah berubah, dan ia pun demikian. Langkah barunya dimulai. Dunia akan mengenalnya bukan sebagai pahlawan atau iblis, melainkan sebagai bayangan yang berjalan di antara kefanaan dan keabadian: Void Immortal

Bab 12 – Jiwa Fana: Tabib dari Lembah Terlupakan

Hujan turun tanpa henti, seolah langit pun ikut meratapi dosa dan luka yang tak terlihat. Di sebuah lembah tersembunyi, jauh dari hiruk-pikuk dunia kultivasi, seorang pria sederhana berjalan sambil membawa kantong penuh akar dan dedaunan herbal. Wajahnya tenang, matanya suram namun lembut, dan rambut hitamnya mulai memutih.

Ia adalah Yan Xuan, sang Void Immortal yang pernah mengguncang langit dan bumi. Tapi kini, dia hanya dikenal sebagai Tabib Xuan, pria tua yang tinggal di gubuk reyot, menyembuhkan luka penduduk desa miskin tanpa meminta imbalan.

Beberapa bulan lalu, ia mengambil keputusan gila—melepaskan seluruh kultivasi dan kekuatan spiritualnya. Ia menyegel kekuatan itu ke dalam sebuah giok hitam dan menguburnya di bawah pohon tua. Ia memutuskan untuk hidup sebagai manusia fana.

Bukan karena ia menyerah.

Tapi karena ia ingin menghapus seluruh jejak energi jahat yang selama ratusan tahun membayanginya. Energi kegelapan yang perlahan mengikis hatinya, membuatnya kehilangan empati, nyaris menjadi iblis dalam wujud manusia.

Hidup sebagai fana adalah bentuk penebusan dan pencarian makna.

---

Selama puluhan tahun, ia menyembuhkan luka, menyaksikan kematian, menggendong bayi yang baru lahir, dan memandikan jenazah yang tak lagi punya keluarga. Ia menjadi bagian dari penderitaan umat manusia, dan perlahan—tanpa disadari—ia mulai merasa hidup.

Namun setiap malam, dalam diam, ia melihat dunia dari kejauhan—dunia yang kini tenggelam dalam kerakusan dan darah. Sekte-sekte kuat menjelma menjadi tirani. Para penguasa berebut tanah, merampas harapan. Dan di tengah kegelapan itu, tak ada yang berdiri untuk melawan.

Tapi Yan Xuan tidak ikut campur. Belum.

---

Suatu hari, seorang anak kecil datang dengan tubuh penuh luka, menggenggam bunga yang telah layu.

"Tabib Xuan... Ibu saya... dia tidak bangun lagi..."

Tanpa kata, Yan Xuan menatap bunga itu. Ia merasakannya—energi jahat, yang mulai menyebar kembali di dunia. Ia menggenggam tangan bocah itu dan menatap langit.

"Waktuku belum habis."

Malam itu, ia kembali ke tempat giok itu dikubur.

Hening.

Dengan tangan bergetar, ia menyentuh tanah.

"Tapi... Aku butuh lebih banyak waktu..."

Ia memilih menunda kebangkitan. Jiwa manusianya masih terlalu penuh luka.

Ia kembali ke gubuknya, menyalakan pelita kecil, dan menulis di kertas kuning:

> "Agar aku dapat menyelamatkan dunia... aku harus terlebih dahulu menyelamatkan diriku dari kegelapan."

Dan dengan itu, Void Immortal hidup sebagai manusia fana, tak karena lemah, tapi karena ia ingin memahami kekuatan sejati bukan berasal dari kekuatan, melainkan dari belas kasih.

Bab 13 – Suara Leluhur: Cermin Jiwa yang Terlupakan

Malam itu, di tengah hujan rintik yang turun perlahan seperti air mata langit, Yan Xuan duduk di depan altar kecil di gubuk tuanya. Pelita hampir padam, dan kabut malam menyelimuti dunia seperti selimut duka yang tak kunjung terangkat.

Ia telah hidup sebagai manusia fana selama hampir lima dekade.

Di balik kesederhanaannya, hatinya diam-diam menggumpal dengan pertanyaan:

Apakah semua ini cukup untuk menebus dosaku?

Apakah jalan yang kupilih benar?

Di tengah perenungan yang sunyi, tiba-tiba... angin berhenti. Waktu seperti berhenti berdetak.

Dari balik kegelapan, sebuah suara tua terdengar, bukan dari dunia ini, melainkan dari dalam jiwanya sendiri.

> "Kau akhirnya datang, pewaris darahku."

Yan Xuan membuka matanya. Ia tak lagi berada di gubuk. Dunia di sekelilingnya adalah lautan abu, tempat kosong tanpa arah dan cahaya. Di hadapannya berdiri sesosok lelaki tua berjubah robek, matanya tajam seperti bintang yang jatuh, namun penuh beban masa silam.

> "Kau... siapa?"

> "Aku adalah bayangan dari darahmu, roh dari keturunan yang telah dilupakan. Aku adalah leluhurmu, yang pernah berjalan sebagai Immortal namun jatuh karena kesombongan."

Yan Xuan terdiam. Ia dapat merasakan bahwa ini bukan mimpi. Ini adalah panggilan jiwa.

> "Kau telah melepaskan kekuatanmu. Kau hidup dalam debu, berjalan bersama penderitaan umat manusia. Tapi apakah kau benar-benar mengerti... mengapa kau harus kembali bangkit?"

Yan Xuan menatap leluhurnya dan menjawab pelan:

> "Karena aku pernah menjadi pedang tanpa arah. Kini aku tahu, pedang hanya tajam bila ada hati yang mengarahkannya."

Leluhurnya tersenyum getir. "Dan apakah hatimu sudah cukup kuat untuk menanggung dunia, Yan Xuan?"

> "Tidak."

"Tapi aku telah cukup tahu arti menjadi manusia. Dan aku tahu, keabadian tanpa empati hanyalah kehampaan. Jika aku harus bertarung kembali, bukan untuk kejayaan. Tapi untuk mereka yang suaranya tak terdengar."

"Untuk anak-anak yang menangis dalam sunyi. Untuk orang tua yang mati sendirian."

Sunyi.

Leluhurnya menutup matanya dan berjalan mendekat. Ia menaruh tangan di dada Yan Xuan.

> "Maka ingatlah: kekuatan sejati bukanlah menguasai langit, tapi memikul penderitaan tanpa kehilangan nurani. Jika suatu hari kau melupakan ini… maka kutukan darah kami akan membawamu kembali ke kegelapan."

Yan Xuan mengangguk.

Ketika ia membuka mata kembali, ia sudah kembali ke gubuk. Hujan masih turun, tapi terasa lebih hangat.

Di depan altar, daun-daun berguguran dengan indah, dan pelita yang tadi hampir padam kini menyala terang.