“Di dunia ini, tahun 2045, dunia sudah semakin maju. Banyak hal sudah berubah. Banyak negara yang tumbang, namun bangkit dengan sistem pemerintahan yang berbeda. Dunia ini sudah berubah. Menjadi dunia cyberpunk.”
Atau itulah yang seseorang tulis dalam waktu senggangnya.
SREK!
Sepotong kertas berisi tulisan itu terbang indah ke udara… lalu mendarat tragis di dalam tong sampah.
“Gak, gak! Bukan seperti ini cara menulis cerita!”
Awan Putra—mahasiswa dengan rambut mullet dan frustrasi tak terbendung—mengacak-acak rambutnya sendiri seperti orang yang stress berat. Rambut Awan adalah mullet bergaya kasual: bagian depan pendek dan agak berantakan, tapi bagian belakangnya panjang dan sedikit bergelombang, menyentuh kerah kausnya.
Seolah-olah dia sedang mencoba gaya lama yang kembali tren... tapi lupa bahwa mullet butuh perawatan rutin agar tidak terlihat seperti habis bangun tidur tiap hari.
Wajahnya? Bisa dibilang biasa saja, atau rata-rata. Jika dia tidak malas-malasan dan merawat dirinya, mungkin dia akan terlihat tampan menawan. Tapi, dia tak peduli dengan itu. Dia memiliki alasan:
“Hah? Skincare? Merawat diri? Untuk siapa aku tampil keren, huh? Aku bukan orang yang memerlukan perhatian dengan cara memakai baju OOTD atau apalah itu.”
Dia duduk termenung di kamar kosnya yang sunyi, satu tangan menggenggam pena, tangan lainnya menopang kepala yang rasanya semakin berat. Satu kalimat pun rasanya seperti menulis tesis.
Awan bukan orang bodoh.
Nilainya bagus. IPK-nya stabil. Dosen pun kenal wajahnya—walaupun itu karena dia sering kabur pas jam terakhir.
Tapi entah kenapa, setiap kali dia mencoba menulis cerita, hasilnya selalu… jelek. Kaku. Tidak berjiwa.
Dan hari ini, di tengah libur semester yang seharusnya tenang, Awan kembali tenggelam dalam rutinitasnya yang paling konsisten: rebahan, nulis sedikit, benci tulisannya, lalu rebahan lagi.
“Lagian kenapa aku milih nulis cerita Cyberpunk sih…?” gumam Awan kesal.
Dia bangkit dari kursinya dan melangkah ke jendela dimana menunjukkan pemandangan kota yang sibuk.
Yang ia lihat adalah…
Kota kusut. Jalan tak teratur. Trotoar rusak. Sepeda motor mendominasi jalur sempit, mobil-mobil parkir sembarangan, dan jalur pejalan kaki… ya, pejalan kaki mungkin sudah punah di ekosistem ini.
Sekarang sudah tahun 2045, tapi dunia tetap saja—ya begitu-begitu saja.
“Ah, benar juga…” katanya sambil tersenyum miris.
“Aku nulis cerita cyberpunk karena dunia ini yang bahkan gak cukup keren buat disebut masa depan.”
Dia melihat kota itu dan menghela nafas yang berat. Pemandangan kacau balau, suara knalpot, dan kabel menjuntai dari tiang listrik yang nyaris miring... tidak inspiratif sama sekali.
Dengan langkah lesu, Awan kembali ke habitat alaminya: kasur.
Dia menjatuhkan diri seperti karung beras, berguling dua kali, lalu menarik selimut seperti hendak hibernasi sampai akhir semester.
“Istirahat! Aku akan istirahat dulu… lalu lanjut nulis!” serunya pada dirinya sendiri.
Ya.
Tentu.
Sangat meyakinkan.
Siapa yang sebenarnya dia coba yakinkan? Dirinya sendiri? Tuhan? Editor fiksi ilmiah yang belum pernah dia kirimi naskah?
Awan meraih ponselnya yang tergeletak di lantai dan membuka ponselnya. Waktu menunjukkan 14:03. Hampir sore hari. Ada juga notifikasi di grup kelas dalam sebuah aplikasi chat. Tapi perhatiannya tertuju kepada satu pesan, dari seseorang yang ia anggap teman dekat, Ega.
“Oi, pemalas. Sebentar lagi bakal ada paket mendarat di depan pintumu.
Aku titip barang di kamarmu dulu ya. Pacarku tahu aku masih simpan game nakal di VR-ku! Harus pura-pura udah jual perangkatnya!
Bye!”
Awan terdiam dan mematung.
“...Hah?”
Ega adalah teman dekatnya.
Orangnya? Aneh.
Sudah punya pacar, tapi masih tergila-gila pada gadis AI 2D dari VR game. Pernah suatu malam dia curhat kalau dia lebih sayang waifu-nya yang bisa berubah jadi naga, daripada pacarnya yang suka spam "Kamu di mana?" setiap lima menit.
Yang tragis?
Pacarnya super cemburuan. Jenis yang kalau Ega online di Discord tapi nggak bales WA, bisa nyamperin kos dengan mode raid boss.
Dan entah bagaimana… Ega pacaran sama tipe seperti itu.
Tuhan punya selera humor yang kejam.
Awan menghela napas.
Titip barang? Perangkat VR?
Yah, selama bukan boneka nyawa AI berwujud tubuh manusia ukuran asli, mungkin aman.
“Pakeeeet~!”
Suara pria dari luar pintu kos menggelegar.
Panjang umur. Pasti paket laknat dari Ega.
Dengan malas Awan bangkit dari kasur, berjalan gontai ke pintu, dan membukanya lebar.
Di hadapannya berdiri kurir dengan ekspresi netral dan satu kotak besar di tangan.
“Paket atas nama Awan?” tanya si kurir sambil memberikannya pena untuk menandatangani surat penerimaan paket.
“Ya, itu saya.” ucap Awan dengan nada malas dan menandatangani surat itu, lalu menyerahkannya kembali.
Tapi belum sempat dia menutup pintu, kurir itu mengangkat telapak tangan ke depan wajahnya.
Awan mengangkat alisnya lalu berkata, “Kenapa, mas?”
“Loh, ini ‘kan COD, bayarnya mana?.”
Teman laknat.
Itulah yang langsung melintas di pikiran Awan.
Ia mengucapkan sumpah serapah dalam hati, mempersembahkan satu kutukan lengkap untuk Ega.
Awan merogoh dompetnya di sakunya, dan menarik uang dari sana seperti Doraemon yang mengeluarkan alat dari kantong ajaibnya.
Dengan ekspresi nelangsa, dia mengambil beberapa lembar uang kertas dengan perlahan, penuh penderitaan.
Kurir itu sampai harus menarik uang itu dengan tenaga, seperti sedang berebut nyawa dengan si pemalas satu ini.
Setelah drama ekonomi itu selesai, kurir pun pergi, meninggalkan Awan berdiri termenung di depan pintu dengan satu paket misterius di tangan.
Awan mengangkat paket itu dan menutup pintu dengan punggungnya,
Dia menaruhnya di lantai, dengan helaan nafas yang besar.
Seakan baru saja membayar hutang nasional.
Lalu dia duduk kembali di kasurnya, menatap kotak itu seolah sedang menatap benda terkutuk dari mitologi kuno.
“Baiklah,” katanya pelan.
“Sekarang…harus aku apakan paket laknat ini?”
Pria berambut mullet itu menempelkan telinganya ke kotak.
Diam beberapa detik.
Menunggu.
“…Oke. Bukan bom waktu,” gumamnya pelan, mengangguk seperti detektif amatir.
Setelah memastikan hidupnya tidak dalam bahaya, Awan meraih cutter kecil dari meja—yang lebih sering dipakai untuk membuka mie instan daripada paket—dan mulai mengiris selotip dengan hati-hati.
“Kalau ini isinya benda ilegal… Aku akan lempar balik ke Ega. Serius.”
Dengan hati-hati, dia membuka lipatan terakhir… dan akhirnya melihat isinya:
Sebuah helm.
Bukan helm sepeda.
Bukan juga helm proyek.
Ini... helm aneh yang terlihat seperti campuran antara headgear sci-fi dan topeng drama klasik.
Dibungkus rapi dengan lapisan bubble wrap, helm itu memiliki permukaan hitam mengilap, dengan pola samar berbentuk lambang ∞ (infinity) di bagian dahi.
“...Eh?”
Awan mengangkat benda itu perlahan dari kotaknya. Bobotnya ringan, tapi terasa... mahal. Bukan barang murah dari marketplace atau hadiah gacha iseng.
“Ini beneran... perangkat VR?” gumam Awan.
Dia mengamati bagian dalam helm. Tak ada tombol, tak ada port kabel yang lazim.
Hanya ada satu sensor tipis memanjang yang melengkung mengikuti bentuk kepala.
Awan memutar-mutar helm itu perlahan, mencoba mencari petunjuk.
Merek? Stiker rusak? Port colokan?
Setelah beberapa detik, dia menemukan tulisan kecil mengkilap di bagian dalam samping helm—cukup tersembunyi, tapi terbaca jelas saat terkena cahaya dari jendela.
Infinity Imagination™
Model: I²-NX04 // Neural Full Dive Series
Model keluaran terbaru jika dilihat dari nomor serinya. Barang itu masih mulus. Tidak ada goresan sama sekali.
Awan menghela napas. Dalam. Sangat dalam.
“Menggunakan ini hanya untuk main game nakal itu sangat mubazir, Ega.”
Awan lalu meraih ponselnya yang ada di kasur dan membalas pesan dari Ega sebelumnya.
“Kalau kau ingin mendapatkan bendamu ini kembali, bayar biaya COD yang tadi, laknat. Harusnya yang mengirim paket yang membayar biayanya bukan penerimanya. Selama kau belum membayar, benda ini menjadi milikku untuk sementara.”
Send.
Meskipun terlihat kejam, ini adalah cara mereka berinteraksi satu sama lain selama ini.
Awan lalu membuka aplikasi search engine, untuk mencari apa itu Infinity Imagination.
Hasil pencarian langsung membanjir. Artikel, video, review pengguna, bahkan teori konspirasi.
“Infinity Imagination, atau I², adalah perangkat full-dive neural interface generasi terbaru yang memungkinkan pengguna masuk secara penuh ke dalam dunia digital.”
“Telah digunakan oleh ribuan game, termasuk judul-judul AAA seperti:
Valden Ring
Assassin’s Oath
Great Effect
Older Scrolls
...dan masih banyak lagi.”
Awan membaca satu paragraf.
Lalu satu kalimat lagi.
Lalu...
“Integrasi langsung ke prefrontal cortex menggunakan non-invasive neuro-sync modulation…”
"Hah…?"
Dia memiringkan kepala seperti kucing yang bingung lihat ilusi optik.
Istilahnya terlalu berat.
Neuron? Modulation? Cortex?
Apa ini riset medis? Atau manual aktivasi super robot?
Dia menatap layar dengan tatapan kosong.
Lalu bergumam pasrah:
“Intinya... ini alat buat nyemplung ke dunia game. Udah. Titik.”
Dia gaptek. Dan dia tahu itu.
Setelah memastikan informasi di internet hanya akan membuat otaknya meleleh, Awan mematikan ponselnya dan meletakkannya di samping bantal.
Dengan sedikit rasa ragu dan banyak rasa bosan, dia menarik kabel dari bawah meja dan menyambungkannya ke helm misterius itu.
Klik.
Lampu kecil berwarna biru menyala perlahan di bagian tengah helm—tepat di atas simbol infinity yang sebelumnya samar, kini menyala dengan aura futuristik.
Helm itu hidup, mengeluarkan warna biru di lapisan-lapisannya.
“Whoa…” gumam Awan pelan.
Tak ada suara mesin. Tak ada kipas.
Hanya keheningan yang… sejujurnya, agak bikin merinding.
Dengan wajah masam, Awan menemukan slot memory card di bagian belakang helm.
Dia mencabut benda kecil itu dengan jari dua—seperti sedang mengambil kecoa dari piring makan.
Dia mengangkat kartu memori itu di depan wajahnya. Menatapnya sejenak.
Isinya? Awan tidak mau tahu. Tapi dia pasti tahu siapa pemiliknya.
“Ew. Sampai jumpa, memori penuh dosa dari game nakal,”
ujarnya, lalu memasukkan kartu itu ke dalam lemari kecil penuh barang random, seolah sedang mengurung artefak terkutuk dari masa lalu.
Setelah itu, dia membuka laci, mengambil memory card baru yang masih tersegel, dan menatapnya sejenak.
Benda kecil. Tak berdosa. Masih murni.
Belum ternodai waifu VR atau game ilegal.
Dengan napas pelan dan hati-hati seperti hendak memasukkan kunci ke ruang rahasia, Awan menekan memory baru itu ke slot helm.
Klik.
Helm kini menyala lebih terang.
Dia memakai helm tersebut, dan ada sesuatu yang muncul di visor helm tersebut.
“What is your name?”
Dia mengisi namanya sendiri. Awan.
Submit.
Lalu muncul tulisan lagi,
“Welcome to Infinity Imagination, where imagination can be your new reality”
Lalu, Awan pergi ke menu game store. Dan banyak game-game baru yang kelihatan seru. Tapi, pandangannya jatuh ke dalam satu game.
Trials of Forgotten Gods Online. Disingkat TFGO. Game online dimana semua orang bisa menjadi apa yang mereka inginkan di dunia fantasy. Itulah deskripsi singkat game tersebut. Ratingnya? 4.5.
“Harusnya ini game bagus kan?” gumamnya.
Dia dengan ragu, menginstal game tersebut, dan itu langsung bisa dimainkan.
Ia kembali ke menu utama, lalu membuka ikon TFGO.
Layar berubah gelap.
Tulisan putih muncul lagi di visor:
"Say: Dive On."
“…Dive On?” ucap Awan pelan, bingung.
“System detected command. Initiating Full Dive.”
“Eh? Tunggu! Aku belum si—”
Sebelum sempat menyelesaikan protesnya, layar di visor meledak dalam semburan cahaya putih.
Kesadarannya terlepas.
Jatuh.
Meluncur.
Kesadarannya kembali.
Perlahan, Awan membuka mata—dan langsung menegang.
Dia berdiri di tengah altar batu raksasa, dikelilingi langit yang memutar, dan… makhluk-makhluk raksasa.
Bukan besar level ogre. Tapi besar level… bisa nginjek gunung.
Raksasa-raksasa itu menatapnya dari singgasana batu, tubuh mereka diselimuti armor perunggu dan sinar mistis. Aura mereka berat—sangat berat—seakan-akan dewa perang Nordik sedang meeting mingguan.
Salah satu dari mereka, sosok tertua, berbicara.
“Siapa kau, anak muda?”
Suaranya menggema seperti guntur menabrak tebing.
Sebelum Awan bisa menjawab, layar transparan tiba-tiba muncul di hadapannya—keyboard virtual yang melayang seperti panel hologram.
Awan menatapnya. Lalu berpikir.
"Aku harus pilih nama samaran. Jangan pakai nama asli. Ini game online. Harus misterius."
Tangannya melayang di atas keyboard.
“Cloud?”
Dia berhenti.
“Unoriginal. Terlalu... 90-an. Cuma karena namaku ‘Awan’ bukan berarti harus pakai nama Cloud, kan?”
Setelah berpikir sejenak, dia mengetik:
Meridius
Dan menekan Submit.
Layar berikutnya muncul: Customize Character
Awan mengatur bentuk wajah, tubuh, postur—dan memilih penampilan yang nyaris mirip dirinya di dunia nyata, hanya saja dengan rambut biru kehitaman dan sedikit lebih... cool.
“Sedikit sentuhan idealisasi, tidak ada salahnya.”
Klik. Submit.
Sang raksasa tua menatapnya tajam.
Lalu mengangkat tangannya ke langit.
“Meridius!
Atas nama Valhessia Pantheon, kau akan kami beri Trials!
Kalahkanlah 12 Raja Iblis di tanah Valhessia...
dan ciptakanlah Odyssey-mu sendiri!”
Lalu, dengan gerakan dramatis, raksasa itu menjentikkan jarinya.
Snap.
Awan mengangkat alis.
“Oi, untuk apa kau menjentikkan jari itu—”
Seketika tanah di bawah kakinya terbuka.
Sebuah lubang hitam menganga, dan ia langsung jatuh.
“YANG BENAR SAJA—!!!”
Suara teriakannya memudar bersamaan dengan tubuhnya yang meluncur ke dalam kegelapan.