Cherreads

Chapter 13 - Eps13: Tanda yang Terbakar

Udara pagi di Kota Aurath terasa ganjil. Sejuk, tapi sarat tekanan. Seolah langit sendiri menahan napas. Lentera di jalanan masih menyala meski mentari telah bangkit. Para penjaga berbicara lebih pelan, dan para penyembuh di kuil bergerak dengan ketegangan yang tampak jelas.

Abbas berjalan melewati lorong-lorong batu kuil yang dingin, matanya tampak lelah, tapi sorotnya tajam. Di tangannya, masih ada bekas cahaya yang semalam keluar dari dadanya. Sebagian sudah memudar, tapi jejaknya seperti luka bakar halus masih membekas. Sebuah pengingat bahwa dia telah kehilangan sebagian Solara-nya demi menyelamatkan Elira.

Ia membuka pintu kamar tempat Elira dirawat. Zera sedang duduk di sana, menatap temannya yang belum juga terbangun. Begitu melihat Abbas, ia berdiri.

“Kau tak harus terus di sini, Zera,” kata Abbas.

Zera menunduk. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu... dia tak pernah benar-benar percaya pada siapa pun selain kau.”

Abbas mendekat. Elira tampak tenang, hampir seperti sedang bermimpi indah. Tapi wajahnya tetap pucat, dan di bawah mata tertutup itu, ada bayangan gelap yang tak biasa.

“Aku akan menunggunya,” kata Abbas, pelan. “Bahkan jika semua ini harus berakhir dalam kehancuran. Aku... tetap akan menunggunya.”

Zera berjalan keluar, meninggalkan Abbas sendirian dengan pikirannya.

Di lorong lain, Kaelus berdiri di ruang pertemuan bawah tanah, bersama para pemimpin pasukan Cahaya yang tersisa. Di atas meja bundar terdapat peta dunia, dan di salah satu sudutnya, sebuah titik merah menyala bekas lokasi kemunculan Zhun.

“Dia tidak menyerang sepenuhnya,” gumam salah satu pemimpin. “Tapi dia menebar ketakutan. Itu lebih buruk.”

Kaelus mengangguk. “Dia mengirim pesan. Dan sayangnya, kita tidak memiliki waktu untuk merespons dengan kehati-hatian.”

“Bagaimana dengan Abbas?” tanya suara lain. “Dia kehilangan sebagian dari kekuatan Solara-nya.”

Kaelus menatap meja. “Justru karena itu... dia akan menjadi kunci. Hanya seseorang yang pernah kehilangan cahaya, yang tahu cara bertarung tanpanya.”

Sementara itu, Abbas duduk di balkon luar kuil, tempat yang sama di mana ia dan Elira semalam berbicara. Tapi sekarang ia sendirian.

Ia menatap telapak tangannya. Biasanya, sinar Solara terasa hangat dan ringan. Tapi sekarang, setiap kali dia memanggilnya, ada perasaan sakit... seperti luka yang dibuka kembali.

“Aku tidak bisa seperti ini,” bisiknya.

Suara langkah terdengar. Bukan Kaelus. Bukan Zera. Melainkan suara lembut, tenang... dan asing.

Seorang wanita muda berdiri di ujung balkon, mengenakan jubah sederhana berwarna pasir. Rambutnya ikal, dan matanya menyimpan ketenangan yang menusuk.

“Kau Abbas?”

“Siapa kau?” tanya Abbas, waspada.

“Namaku Maelya,” jawab wanita itu. “Aku dikirim oleh kaum Penjaga Cahaya Purba dari wilayah barat. Kami merasakan saat Solara-mu... retak.”

Abbas menegang. “Mereka masih hidup?”

“Beberapa,” jawab Maelya. “Dan kami mengawasi dari jauh. Kau telah melakukan apa yang tak pernah dilakukan penjaga sebelumnya. Mengorbankan sebagian cahayamu, bukan untuk membunuh, tapi untuk menyelamatkan.”

Abbas memalingkan wajahnya. “Itu bukan keputusan heroik. Itu... keputusasaan.”

Maelya melangkah maju. “Dan itu sebabnya kami datang. Karena hanya orang yang putus asa, yang bisa melihat bentuk asli dari Cahaya.”

Dia mengangkat tangannya, dan dari dalam lengan jubahnya, keluar sebuah batu kecil berwarna kristal Kristal Elarian. Batu itu bersinar lemah, tapi berbeda dengan Solara. Ini lebih halus, lebih dingin... dan lebih tajam.

“Apa ini?”

“Ini adalah potongan cahaya yang tidak murni,” jawab Maelya. “Cahaya yang terbentuk dari pengorbanan, bukan kekuatan. Ini bukan untuk menyerang. Tapi untuk memahami.”

Abbas ragu. “Kau ingin aku menggunakannya?”

“Tidak,” jawab Maelya. “Aku ingin kau memeluk kegelapanmu. Dan melihat apakah kau masih bisa menyalakan api dalam dirimu. Tanpa harus menjadi terang bagi orang lain.”

Malam itu, Abbas duduk sendirian di ruang meditasi. Di hadapannya, Kristal Elarian bersinar samar. Ia menutup matanya dan membiarkan pikirannya masuk ke dalam

ke dalam luka, kehilangan, rasa takut… dan cinta.

Dalam kegelapan pikirannya, ia melihat Elira... terjatuh.

Ia melihat dirinya saat kehilangan ayahnya di dunia nyata.

Ia melihat Nayla, kekasihnya yang telah gugur di dunia lain, saat pertama kali ia memegang Lampu Kehidupan.

Semuanya menyatu. Luka demi luka, cahaya demi cahaya. Dan perlahan... sesuatu di dalam dirinya menyala.

Bukan seperti Solara.

Tapi lebih dalam. Lebih gelap. Dan lebih manusiawi.

Keesokan harinya, Abbas membuka matanya. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa... utuh. Bukan karena ia lengkap. Tapi karena ia menerima bagian dirinya yang hilang.

Di sampingnya, Kristal Elarian telah pudar. Tapi di dadanya, luka bekas Solara kini bersinar lembut. Warna putih bercampur ungu. Sebuah tanda... bahwa ia telah terbakar. Tapi belum hancur.

Kaelus menemuinya. “Bagaimana kau merasa?”

Abbas berdiri. Matanya tidak lagi menyala terang seperti dulu. Tapi sorotnya... lebih dalam.

“Sudah saatnya,” katanya.

“Untuk apa?”

Abbas menatap jendela, ke arah selatan. “Untuk menjemput masa depan. Dan menyalakan api... bukan hanya untuk melawan kegelapan. Tapi untuk memberi arti pada cahaya itu sendiri.”

Dan di kamar sunyi itu, Elira membuka matanya perlahan. Ia menatap langit-langit... dan tersenyum pelan.

More Chapters