Senja menjalar perlahan di balik jendela kaca patri BiaraPutih. Cahaya jingga memantul di dinding batu tua dan rak-rak penuh kitab keheningan. Di ruang kecil tempat para biksu berdiskusi, Pemimpin Biara, seorang lelaki tua berjubah abu-abu pucat duduk menghadap meja kayu rendah.
Jainal berdiri di hadapannya, topeng perjalanannya tergantung di sisi sabuk. Ia tak lagi menyembunyikan wajahnya—setidaknya, di tempat ini. Di depannya ia letakkan sebuah kantung kulit berisi beberapa koin emas, disusun rapi dan beratnya terasa bahkan di atas kayu.
> “Untuk biaya hidup mereka. Dan... sebagaiganti karena aku telah membawa bayangangelap ke tempat yang seharusnya sunyi,” ujar Jainal pelan.
Pemimpin Biara tidak segera menyentuh koin itu. Ia hanya menatap Jainal, matanya tajam tapi tidak menuduh.
> “Kau tahu, pemuda... tempat ini dibangun bukan untuk menolak beban. Tapi kami tidak buta terhadap bentuk beban seperti apa yang kau bawa.”
---
Ia meraih salah satu koin dan menggulingkannya di atas jari.
> “Ini bukan tentang emas, atau makanan, atau bahkan keamanan. Ini tentang niat. Kau tidak lari dari tanggung jawab. Kau hanya... menanamnya untuk tumbuh di tempat yang lebih tenang.”
Jainal menunduk sedikit.
> “Aku tak bisa membawa mereka ke tempat yang akan kuhadapi. Tapi aku juga tak ingin mereka menghilang begitu saja. Kalau aku gagal—aku ingin setidaknya mereka bisa memilih jalan hidup mereka sendiri, kelak.”
Pemimpin Biara tersenyum tipis.
> “Kau masih muda, tapi matamu... matamu seperti seseorang yang sudah kehilangan terlalu banyak untuk usianya.”
---
Beberapa detik hening, lalu suara lonceng biara berdentang dari kejauhan.
> “Apa kau tahu,” lanjut Pemimpin Biara sambil menatap jendela, “Biara ini pernah terbakar dalam peranglimapuluhtahunlalu. Kami menyelamatkan naskah, bukan tembok. Dan kami tahu satu hal: dinding bisa dibangun kembali, tapi jiwa yang padam... hanya bisa dibangkitkan lewat kasih.”
Ia menatap Jainal tajam.
> “Kau membawa dua jiwa yang luka. Tapi mereka masih punya percikan api. Itu artinya... mereka belum selesai.”
---
Jainal mengangguk perlahan. Ia mengambil satu gulungan kecil dari saku dalam jubahnya—isi ringkasan dari laporan PosRiset03, disalin dengan tangannya sendiri.
> “Kalau aku tidak kembali dalam duamusim... bakar ini. Jangan biarkan siapa pun menggunakannya.”
Pemimpin Biara menerima gulungan itu tanpa pertanyaan.
> “Kami tidak berperang. Tapi kami tahu kapan harus melindungi sesuatu dari mereka yang menyebut kegelapansebagaipengorbanan.”
---
Ketika Jainal berdiri untuk pergi, Pemimpin Biara memanggilnya sekali lagi.
> “Namamu?”
“Jainal.”
“Jainal,” ulangnya. “Dari gunung?”
“Dari gunung... dan dari semua tempat yang terbakar.”
Pemimpin Biara mengangguk.
> “Kalau jalanmu membuat dunia lebih panas, pastikan kau tahu siapa yang kau bakar.” ucap pemimpin biara.
---
Jainal tersenyum kecil. Lalu menundukkan kepala hormat, sebelum melangkah keluar. Di belakangnya, pintu biara menutup pelan. Cahaya terakhir senja menyambutnya di luar.
Langkahnya kembali ringan. Tapi matanya lebih tajam dari sebelumnya. Karena kali ini, ia tak hanya berjalan untuk mencarikebenaran.
Ia berjalan untuk memastikan bahwa luka tidak lagi diwariskan sebagai kutukan.