Cherreads

Chapter 41 - Bab 41: Pemangsa Ingatan dan Satu Detik Penentu

Auralis malam itu terasa hening, tapi bukan hening yang menenangkan.

Hening ini seperti ujung pisau—tajam, menggantung di leher waktu.

Rania berdiri di tengah Lingkaran Penyatuan, ruang ritual kuno yang tersembunyi di bawah ruang tahta. Di hadapannya berputar pelan tiga sumber kekuatan:

1. Kristal Auralis – mengandung kekuatan waktu lokal.

2. Obor Dantara – api abadi yang membakar tanpa asap, simbol keteguhan.

3. Kristal Saghra – es murni dari jantung dimensi beku, lambang ketenangan dan logika.

Menyatukan ketiganya… belum pernah dilakukan oleh siapa pun. Bahkan dalam catatan Kael yang paling kuno.

“Kalau ritual ini gagal,” kata Reina dari sisi barat lingkaran, “keretakan waktu bisa mempercepat kehancuran seluruh dimensi.”

Rania menunduk. “Dan kalau kita diam, Omega akan menghapus semua kenangan umat.”

Suara Elvaron menimpali, tegas. “Tidak ada pilihan aman, hanya pilihan yang kita siap tanggung risikonya.”

Rania memejamkan mata. Ia tahu waktu mereka sempit.

Karena di utara…

Pemangsa Waktu sudah datang.

---

Arven berdiri di gerbang utara Auralis.

Bersamanya, puluhan pasukan waktu: penjaga berdarah jam pasir, makhluk waktu berkulit perak, dan prajurit Dantara yang baru membeku dua hari lalu kini kembali bernafas.

Mereka semua menghadap ke kabut yang menggumpal. Tapi kabut ini bukan kabut biasa.

Kabut ini… menghapus ingatan begitu disentuh.

“Jangan panik!” teriak Arven. “Jaga posisi! Fokus pada suara detak jam pusat!”

Di dalam kabut, makhluk itu melangkah keluar perlahan.

Bayangan Pemangsa Waktu.

Bentuknya tak menentu. Seperti tumpukan tubuh hitam yang bergulung. Tapi matanya—ya, ia punya mata—berjumlah tujuh, masing-masing memancarkan cahaya ungu yang membuat siapa pun yang menatapnya langsung… lupa pada siapa dirinya.

Seorang prajurit di barisan depan mulai gemetar.

“Aku… siapa aku?” bisiknya. “Kenapa aku di sini?”

Ia menjatuhkan pedangnya. Tubuhnya goyah, lalu diam.

Satu mata Pemangsa menyala lebih terang.

> Ingatan prajurit itu sepenuhnya terhapus.

Ia bahkan tak tahu caranya berdiri.

Arven segera melompat ke depan.

Dengan satu gerakan, ia menancapkan Bendera Waktu Auralis ke tanah. Bendera itu memancarkan getaran pelindung: siapa pun yang berdiri dalam jangkauannya, bisa mempertahankan identitas diri selama sepuluh menit.

Tapi Arven tahu…

> Sepuluh menit tidak cukup.

Ia menatap ke arah istana dan berbisik dalam hati:

> Rania… cepatlah.

---

Di dalam lingkaran ritual, Rania mulai memutar ketiga elemen:

Api, es, dan waktu.

Tapi ketiganya bertabrakan dalam aliran sihir.

Obor Dantara menyala membabi buta, melelehkan sisi kiri lingkaran.

Kristal Saghra membekukan sisi kanan.

Sementara Kristal Auralis… berdenyut seperti jantung yang gelisah.

Rania menggigit bibir. Tubuhnya berkeringat dingin.

“Reina, bantu aku stabilkan suhu!”

Reina mengangkat tongkat pengatur elemen dan mulai menahan aliran panas dari obor. Tapi sihir api Dantara liar dan keras kepala.

Elvaron mengunci arah arus sihir waktu menggunakan mantra penyeimbang.

> Tapi kemudian… satu retakan muncul di lantai lingkaran.

Reina berteriak, “Retakan energi! Kalau melebar, bisa merobek waktu lokal!”

Rania menutup mata. Ia mengingat suara ibunya yang berhasil ia dapatkan kembali di lorong waktu.

> "Kau boleh menangis, tapi jangan berhenti berjalan..."

Ia berbisik, nyaris seperti doa:

> “Kaen… ibu… tolong aku jaga mereka.”

Lalu Rania melepaskan segel terakhir pada Kristal Auralis.

Saat itu juga… lingkaran menyala terang. Tiga elemen saling melingkupi satu sama lain—panas, dingin, dan detak waktu menjadi satu spiral cahaya.

Rania pingsan sejenak. Tapi sebelum tubuhnya jatuh, Reina menangkapnya.

“Ritual… berhasil,” desis Elvaron. “Tapi sekarang kita harus mengarahkannya ke utara. Ke Arven.”

---

Di medan pertempuran, Arven tersungkur.

Pemangsa Waktu sudah menelan dua peleton. Darah dan kenangan menguap bersamaan di udara. Mata-mata ungu itu memutar dan mencari mangsa berikutnya.

Dan saat salah satu matanya mengarah ke Arven…

BOOM.

Semburan cahaya menyapu seluruh kabut.

> Sinar penyatuan tiga dimensi.

Dikirim dari jantung istana.

Dipandu langsung oleh Rania.

Cahaya itu menabrak Pemangsa Waktu seperti badai dari langit.

Makhluk itu berteriak… suara yang tak terdengar oleh telinga manusia, tapi bisa dirasakan langsung di jiwa.

Satu per satu matanya pecah. Tubuhnya mencair. Dan dalam hitungan detik…

> Pemangsa Waktu punah.

---

Rania sadar perlahan, tubuhnya masih lemah.

Reina memeluknya, air mata jatuh tanpa sadar.

“Elvaron bilang kalau kau gagal… waktu kita akan berakhir. Tapi kau melakukannya.”

Rania mengangguk lemah. “Ini… baru awalnya.”

---

Tapi belum sempat mereka menarik napas lega, Alendra muncul di ruang sihir dengan luka parah di bahu.

Wajahnya kosong. Napasnya berat.

Rania segera mendekat. “Alendra?”

Alendra menjatuhkan satu gulungan. Di dalamnya—potongan sihir dari lorong waktu ibunya.

“Dia… sempat bicara padaku,” bisik Alendra. “Dia bilang… dia bangga padaku… karena aku memilih Auralis.”

Air mata menetes dari pipinya.

> “Tapi kenapa rasanya… seperti aku kehilangan segalanya?”

Rania memeluknya.

> “Karena kau manusia, Alendra.”

“Dan kadang… menyelamatkan dunia berarti menghancurkan hatimu sendiri.”

More Chapters