Semenjak Rania kembali, Auralis perlahan menemukan ritmenya kembali. Taman kristal mulai mekar, sungai air-api mengalir tanpa mendidih, dan langit Waktu Keempat bersinar hangat keunguan.
Namun, bukan hanya Auralis yang berubah.
Rania pun telah berubah.
Setiap langkahnya di koridor istana terasa berat, seolah setiap waktu menyatu dalam dirinya—Auralis, Dantara, dan Saghra. Tubuhnya masih bisa menahan getaran dimensi, tapi jiwanya? Retak kecil mulai terasa di bagian terdalam dirinya.
Ia menyembunyikan itu dari Kaen. Dari semua orang.
> Tapi saat ia tidur… mimpi-mimpi yang datang bukan lagi tentang masa depan.
Tapi tentang masa lalu.
Dan tentang seseorang yang sudah ia lupakan.
---
Hari itu, Reina membawanya ke ruang observasi sihir.
"Rania, ada sesuatu yang perlu kau lihat," katanya, agak gugup.
Di meja sihir, Reina menunjukkan bayangan dimensi yang terekam oleh kristal pengawas.
Di bagian barat hutan Waktu Keempat, terlihat sosok berjubah kelabu, dengan wajah tersembunyi, berjalan menelusuri batas realitas.
"Dia muncul sehari setelah kau kembali," ujar Reina.
“Sudah dicoba dekati?” tanya Rania.
Reina menggeleng. “Setiap kali didekati oleh penjaga waktu, dia menghilang. Tapi dia selalu kembali ke titik yang sama. Seperti sedang… menunggu.”
Rania mendekati kristal dan menyentuhnya.
> Gambar itu membesar.
Dan wajah sang sosok… muncul.
Rania terpaku.
Nafasnya tercekat.
> Itu… bukan wajah orang asing.
Itu… Bayu.
---
Bayu.
Nama itu menghantam batinnya seperti badai masa lalu.
Sahabat semasa SMA. Lelaki yang dulu pernah ia cintai diam-diam. Yang dulu membuatnya menulis puisi tanpa pernah mengirimkannya. Yang pernah ia doakan diam-diam setiap malam—hingga ia hilang ditelan waktu, saat Rania masuk ke Auralis.
Tapi Bayu sudah lama meninggal. Tabrakan motor di tahun pertama kuliah. Rania menangis saat itu—tapi hidupnya terus berjalan… hingga ia menyeberang ke dimensi lain.
> Jadi… kenapa wajah Bayu ada di Auralis?
---
Malamnya, Kaen duduk bersama Rania di balkon istana. Bulan Waktu Keempat menyala ungu pucat di langit.
“Bayu?” Kaen mengulang nama itu.
Suaranya tenang… tapi sorot matanya menyimpan waspada.
Rania menunduk. “Dia… bagian dari masa laluku. Aku pikir… dia sudah tiada.”
Kaen tidak menjawab. Hanya memandangi bintang-bintang.
“Kau ingin menemuinya?” tanyanya kemudian, pelan.
Rania tidak segera menjawab.
> Sebagian dari hatinya ingin.
Tapi sebagian lagi… takut.
“Kalau dia memang Bayu,” katanya akhirnya, “aku harus tahu kenapa dia di sini. Kalau bukan… maka dia ancaman.”
Kaen menatapnya dengan lembut. “Apapun wajah yang ia kenakan, Rania… ingat siapa dirimu sekarang.”
Rania menggenggam tangan Kaen erat. “Aku tak akan lupa. Aku milik Auralis… dan milikmu.”
---
Keesokan harinya, Rania pergi ke hutan barat, ditemani Reina dan Elvaron.
Kabut waktu menggantung rendah. Pohon-pohon bercahaya samar, dan tanah berdenyut seperti nadi.
Di tengah hutan, sosok itu berdiri.
Tenang. Menanti.
Ia membuka tudungnya.
> Dan wajah Bayu… terpampang jelas.
Tapi matanya… bukan mata Bayu.
Terlalu gelap. Terlalu dalam.
“Rania,” katanya. Suaranya… identik. Tapi ada gema dari dimensi lain. “Kau mengingatku?”
Rania melangkah maju.
“Bayu meninggal di duniaku. Tapi kau… mengenakan wajahnya.”
Sosok itu tersenyum tipis. “Aku mengenakan wajah yang kau simpan dalam hatimu. Karena aku… berasal dari sisi waktu yang tak pernah kau pilih.”
Reina menarik napas tajam. Elvaron menegang.
> “Kau… bayangan dari dimensi kelima,” bisik Elvaron.
“Dimensi yang muncul jika seseorang menyatukan tiga waktu… dan menolak untuk memilih.”
Sosok itu—yang menyebut dirinya Sarin—mengangguk.
“Di dalam Waktu Keempat, aku dilahirkan dari semua perasaan yang tak selesai. Semua cinta yang tertahan. Semua luka yang tak sempat sembuh.”
> “Aku bukan musuhmu, Rania. Aku… adalah bagian darimu.”
Rania mundur selangkah. Dadanya sesak.
Kaen… Alendra… semua yang ia miliki kini bisa runtuh… jika Sarin benar-benar mampu mengganggu hatinya.
> Tapi ia tahu.
Bayu telah ia kubur dalam doa.
Yang tersisa hanyalah kenangan.
Dan Auralis adalah takdirnya.
“Aku tak akan ikut denganmu,” kata Rania tegas. “Aku bukan lagi gadis SMA yang hanya menunggu seseorang menoleh padanya.”
> “Aku penjaga waktu.
Dan aku tahu… kemana aku harus pulang.”
Sarin menatapnya sejenak.
Lalu menghilang… menjadi kabut.
Tapi sebelum lenyap, ia berkata:
> “Kalau kau menolakku… Auralis akan membayar.”