Cherreads

Chapter 2 - Perasaan yang Tumbuh Diam-diam

Sore itu, halaman sekolah terlihat hangat di bawah sinar matahari yang mulai merendah. Burung-burung beterbangan rendah di antara pepohonan, angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah yang lembap. Melody, Kenny, dan Larry duduk di bangku taman setelah latihan drama selesai.

Kenny, seperti biasa, menghidupkan suasana dengan celoteh konyolnya."Serius deh, Mel. Kalau aku jadi pangeran di drama itu, kayaknya penonton bakal kabur semua," ujarnya sambil memasang wajah pura-pura putus asa.

Melody tertawa, matanya berbinar penuh kehangatan."Nggak ah, kamu pasti cocok! Kamu punya karisma pangeran, kok."

Kenny terkekeh, tetapi di dalam hatinya ada sesuatu yang perlahan tumbuh. Ia menyadari bahwa Melody bukan lagi sekadar teman bagi dirinya. Setiap tawa Melody, setiap sorot matanya, membuat dadanya terasa sesak. Tapi Kenny selalu menutupinya dengan humor agar tak seorang pun menyadari.

Larry yang duduk sedikit menjauh hanya mengamati. Ia tahu betul rasa yang mulai tumbuh di dalam dirinya sendiri, tetapi sifatnya yang pendiam membuatnya memilih untuk memendam segalanya. Baginya, melihat Melody tertawa sudah cukup, meski bukan dirinya yang menjadi alasannya.

Tiba-tiba, suara yang familiar memanggil."Eh, Melody!"

Mereka bertiga menoleh. Toni berdiri beberapa meter dari mereka, senyumnya menawan seperti biasa. Melody berdiri dengan cepat, wajahnya memerah."H-hai, Kak Toni."

Toni berjalan mendekat, matanya tertuju pada Melody."Kamu ada waktu sebentar? Aku mau ngomong tentang latihan basket besok. Kamu kan jadi tim pendukung, kan?"

Melody mengangguk cepat."Iya, Kak. Aku ada waktu."

"Bagus. Aku tunggu di lapangan, ya." Toni tersenyum lagi sebelum berbalik meninggalkan mereka.

Melody berbalik ke arah Kenny dan Larry dengan senyum cerah."Aku duluan ya! Sampai besok!"

Kenny hanya mengangkat tangan, memaksakan senyum."Hati-hati, Mel."

Larry diam, hanya menatap punggung Melody yang semakin menjauh. Ada perasaan yang sulit dijelaskan di dadanya—hangat karena Melody bahagia, namun juga perih karena kebahagiaan itu bukan bersamanya.

Kenny menghela napas pelan."Dia terlihat bahagia," gumamnya, matanya masih tertuju pada arah Melody pergi.

Larry mengangguk pelan."Iya… bahagia."

Hening melanda di antara mereka. Keduanya sama-sama tahu bahwa perasaan ini bukan lagi sekadar rasa suka. Mereka juga sadar, Melody telah menaruh hatinya pada orang lain.

Pertanyaan yang tak terucap muncul di benak mereka: Apakah kami cukup kuat untuk tetap menjadi sahabat, meski hati kami terluka?

More Chapters