Hujan turun deras malam itu di sudut kota London. Langit menggantung kelabu, dan udara menusuk kulit. Di dalam apartemen kecil yang remang, Rae Whitmore berdiri di depan jendela, menatap bayangan samar dari jalanan yang basah dan dingin.
Tubuhnya berselimut hoodie tipis. Kaki telanjangnya menginjak lantai kayu yang dingin. Hatinya gelisah, seperti ada sesuatu yang salah... seperti firasat buruk yang terus berulang dalam mimpinya selama seminggu terakhir.
Lalu, suara itu datang.
Tok. Tok. Tok.
Bukan ketukan biasa. Teratur. Tenang. Dingin. Seolah orang yang berdiri di balik pintu tahu persis bahwa Rae tidak akan bisa mengabaikannya.
Rae menoleh. Jantungnya berdebar.
“Siapa?” tanyanya pelan, meski ia tahu… hanya satu orang yang mungkin muncul tanpa peringatan. Hanya satu pria yang bisa membuat ketakutan terasa lebih nyata dari kenyataan.
Pintu itu terbuka… tanpa izin.
Dan di sana berdiri Alaric Deveraux.
Setelan jas hitamnya basah oleh hujan. Rambutnya acak-acakan tapi tetap terlihat elegan. Mata kelamnya menatap Rae tanpa berkedip. Sorotnya tajam, seolah menelanjangi jiwa Rae sampai tak bersisa.
“London masih seperti dulu,” ucapnya tenang, sambil menutup pintu dengan pelan. “Dingin. Dan penuh pengkhianat.”
Rae mundur satu langkah. “Kau tidak seharusnya di sini…”
Alaric menyeringai samar. “Tapi aku di sini. Dan kau tahu kenapa.”
Rae menelan ludah. Napasnya sesak. “Aku… aku hanya ingin bebas, Alaric.”
Pria itu mendekat. Langkahnya berat, penuh kekuasaan. Seolah tiap jengkal lantai adalah miliknya. Tangannya yang besar dan kokoh terulur, namun tak menyentuh Rae. Hanya menggantung di udara—mengancam dan memikat sekaligus.
“Bebas?” katanya dingin. “Kau mencuri dokumen dari perusahaanku. Berusaha kabur dari London. Lalu bersembunyi di lubang tikus seperti ini. Itu bukan kebebasan, Rae. Itu pengecut.”
“Aku tidak mencuri! Aku hanya—aku hanya ingin pergi…”
“Dariku?”
Pertanyaan itu menusuk seperti belati.
Rae terdiam.
Alaric menurunkan tangannya. Ia mengamati Rae dari kepala sampai kaki, menatapnya seperti barang milik pribadi yang kotor karena dibiarkan terlalu lama.
“Aku mencarimu selama tiga bulan,” katanya. “Kau tahu betapa menyebalkannya rasanya memburu seseorang yang sudah kutandai sebagai milikku?”
Rae menunduk. “Kau tidak bisa memiliki orang seperti itu.”
“Oh, aku bisa. Dan aku akan buktikan.” Tiba-tiba, tangannya mencengkeram dagu Rae, mengangkat wajahnya dengan kasar.
Tatapan mereka bertemu. Mata Rae penuh air. Tapi bukan hanya ketakutan… ada luka, ada rindu, ada sisa rasa yang belum mati.
“Lepaskan aku,” bisiknya.
“Tidak,” jawab Alaric tajam. “Karena begitu aku melepaskanmu, aku akan kehilangan satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup.”
Detik berikutnya, bibirnya menempel pada kening Rae. Lembut. Tapi mengancam. Seperti tanda kepemilikan. Seperti perang yang baru saja dimulai.
“Aku akan membawamu kembali ke Blackthorn Manor,” katanya pelan. “Dan kau akan belajar lagi… bagaimana rasanya menjadi milik pria yang kau khianati.”
Ia membalikkan badan dan berjalan menuju pintu.
Rae mengejarnya. “Aku bukan mainan, Alaric. Aku manusia!”
Tapi pria itu hanya menoleh setengah. Tatapannya datar, suaranya rendah. “Kau bukan mainan, Rae. Kau candu. Dan aku tak punya niat berhenti menghisapmu.”
Pintu tertutup di belakangnya.
Dan Rae tahu…
Malam ini, semua akan dimulai kembali. Lebih gelap. Lebih dalam. Lebih menyakitkan.