Langkah pertama Rangga untuk mewujudkan mimpinya dimulai bukan dari membeli alat, bukan juga dari membuka bengkel—tapi dari belajar. Di Pesantren, ada pelatihan keterampilan yang disediakan bagi anak-anak yang ingin punya keahlian praktis. Salah satu pelatihannya adalah otomotif dasar.
Saat pendaftaran dibuka, Rangga langsung menulis namanya.
"Lu serius mau ikut?" tanya Rendi sambil ngintip daftar nama.
"Iya lah. Masa dari kecil suka bongkar sepeda, gede gak bisa bongkar motor," jawab Rangga dengan senyum lebar.
Hari pertama pelatihan, Rangga datang paling pagi. Ia duduk paling depan, mencatat setiap penjelasan ustadz pembimbing. Saat peserta lain masih ragu megang kunci pas, Rangga udah mulai coba buka baut.
"Pelan-pelan, jangan dipaksa. Rasain dulu kunciannya," ujar ustadz itu sambil tersenyum melihat semangat Rangga.
Setelah beberapa pertemuan, ustadz tersebut mendekati Rangga. "Antum punya bakat. Tapi bakat itu gak cukup. Harus disiplin, dan antum harus siap bantu yang lain juga."
Sejak itu, Rangga bukan cuma belajar untuk dirinya sendiri, tapi juga mulai bantuin teman-temannya yang belum paham. Ia mulai dikenal sebagai anak yang sabar ngajarin dan telaten.
Di sela pelatihan, Rangga juga mulai menabung dari uang saku mingguan yang kadang ia sisihkan dari upah bantu dapur, atau menjaga gudang logistik pesantren. Seribu, dua ribu, kadang lima ribu—semuanya ia kumpulkan dalam satu kaleng bekas susu bubuk yang ia sembunyikan di kolong lemari.
Suatu hari, ia menuliskan di atas kaleng itu:
"Tabungan Impian Bengkel"
Meski nominalnya belum seberapa, bagi Rangga, itu lebih dari sekadar uang. Itu lambang dari harapan dan kerja keras. Tiap receh yang masuk, adalah satu langkah kecil menuju sesuatu yang besar.
Dan yang paling penting: sekarang Rangga gak sendirian lagi. Ia punya teman-teman, pembimbing, dan lingkungan yang percaya bahwa masa lalu bukan penghalang, tapi batu loncatan untuk bangkit.