Cahaya lembut senja menerpa jendela ruang penyembuhan.
Rania duduk di kursi rotan tua di sisi tempat tidur, tangannya menggenggam jam pasir kecil.
Kaen, yang telah tiga hari tak menyebut namanya, hari ini mengucapkan kata yang membuat waktu berhenti sesaat.
> “Rania…?”
Nafas Rania tercekat.
Ia menoleh perlahan. Kaen sedang duduk tegak, matanya menatap ke arah langit, tapi kosong. Seperti berbicara pada langit, bukan padanya.
“Kaen… kamu ingat aku?” bisiknya.
Kaen mengerutkan dahi, menatap tangan Rania.
“Jam ini… aku pernah memberikannya padamu?” tanyanya.
Rania mengangguk pelan, air matanya menetes.
Kaen menyentuh dahinya. “Tapi kenapa kepalaku… sakit? Aku seperti melihat sesuatu yang tidak nyata… atau belum terjadi…”
---
Malamnya, Kaen terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal.
Tubuhnya berkeringat dingin. Matanya memancarkan ketakutan.
Rania segera masuk setelah mendengar teriakan penjaga.
“Kaen! Apa yang terjadi?!”
Kaen menatapnya… tapi bukan dengan pandangan yang hangat.
> “Aku bermimpi… bahwa kau mati di pelukanku.”
“Kau terluka… darah di mana-mana… tapi senyummu masih hangat. Lalu semuanya gelap.”
Rania menatapnya kaget. “Itu… tidak pernah terjadi…”
Kaen menggeleng. “Aku tahu. Tapi mimpinya terlalu nyata.”
“Dan aku… tahu perasaanku padamu lebih dulu daripada aku tahu siapa namaku sendiri.”
---
Keesokan harinya, Reina dan Elvaron berdiskusi dengan Rania.
“Kaen tidak hanya kehilangan ingatan,” kata Elvaron serius. “Jiwanya terguncang karena terjebak di lorong waktu yang tidak stabil. Bisa jadi sebagian kenangan masa lalunya bersatu dengan kemungkinan masa depan.”
Rania terdiam.
“Jadi… dia bermimpi masa depan yang belum terjadi?” bisik Reina.
“Bukan mimpi,” balas Elvaron. “Itu pantulan waktu yang berantakan. Seperti melihat bayangan yang retak.”
Rania menggenggam jemarinya sendiri.
> “Kalau aku membantunya membuka semua kenangan, apakah itu akan menyembuhkan… atau menghancurkannya?”
Elvaron menatapnya dalam.
> “Bisa jadi dia pulih… atau bisa jadi ia memilih untuk tidak hidup di dunia ini lagi.”
---
Di taman kristal, Kaen duduk di bawah pohon waktu.
Daun-daun bening berjatuhan, memantulkan cahaya yang menyilaukan tapi indah.
Rania menghampirinya, membawa dua cangkir teh hangat dari ruang tengah.
“Masih mimpi buruk?” tanyanya.
Kaen mengangguk. “Tapi ada satu yang terasa berbeda…”
Ia menoleh ke arah Rania.
> “Aku melihatmu… memakai gaun perang putih. Di belakangmu ada istana hancur. Tapi kau tetap berdiri. Dan aku… berdiri di sampingmu.”
“Aku tidak tahu apakah itu masa depan… atau masa lalu.”
Rania tersenyum pahit.
“Yang kutahu… kau pernah bersumpah melindungi Auralis… dan aku.”
Kaen menatap langit. “Lalu… apa yang terjadi hingga aku melupakan itu semua?”
Rania menarik nafas dalam.
> “Kaen… kalau kau siap, aku bisa membantu mengembalikan kenanganmu.”
“Tapi mungkin… itu akan menyakitkan.”
Kaen menoleh padanya.
“Mungkin aku lebih takut… kehilangan kesempatan untuk mengenalmu ulang.”
---
Malam itu, Rania memanggil Reina dan Elvaron ke ruang rahasia waktu.
Kaen duduk di kursi kristal, sementara di sekelilingnya disusun tiga lilin kenangan—masing-masing menyimpan jejak emosional dari:
1. Hari ia bersumpah menjadi pelindung Rania.
2. Malam mereka bertarung bersama di lembah Dantara.
3. Momen ia mengaku cinta… sebelum hilang di dimensi gelap.
Rania berdiri tepat di depannya. Tangannya gemetar.
“Kalau ini terlalu berat… aku akan hentikan,” katanya pelan.
Kaen menatap matanya, kemudian menggenggam tangannya.
> “Kalau kau ada di sana, Rania… aku akan kuat.”
---
Mantra pemanggil ingatan dimulai.
Elvaron melantunkan bahasa waktu kuno, dan satu per satu lilin menyala.
Cahaya pertama menyinari wajah Kaen.
Ia menjerit.
Tubuhnya kejang. Napasnya tersengal.
Gambar-gambar berkelebatan dalam pikirannya:
Rania yang berdarah setelah mencoba menyelamatkan anak-anak Auralis dari ledakan sihir.
Kael, ayah Alendra, memaksanya untuk menyusup ke jalur waktu gelap demi menyelamatkan dimensi Dantara.
Pelukan terakhir mereka sebelum gerbang tertutup…
Lilin kedua menyala.
Kaen terdiam. Air matanya jatuh.
Ia melihat:
Rania duduk di ruang waktu kecil, tertidur dengan buku di tangannya, menunggunya kembali.
Suara ibunya sendiri berkata, “Kalau kau mencintainya, jangan biarkan waktu mencuri kalian.”
Dan saat lilin ketiga menyala…
> Kaen membuka matanya… penuh kesadaran.
“Rania…” katanya, suaranya rendah, tapi yakin.
“Aku ingat segalanya.”
---
Rania tersentak. Air matanya tumpah.
Kaen berdiri. Tubuhnya masih gemetar, tapi jiwanya utuh.
Ia memeluk Rania erat, keningnya menyentuh milik gadis itu.
> “Aku kembali… dan kali ini, aku tidak akan pergi lagi.”
---
Tapi sebelum mereka sempat keluar dari ruang waktu…
Retakan di dinding utara istana pecah.
Reina berlari masuk.
“Elvaron! Satu jalur waktu meledak di ruang takhta!”
Rania dan Kaen segera menyusul.
Dan di sana…
Bayangan besar muncul dari celah retak waktu.
Tapi bukan Omega.
> Sosok ini lebih tua… lebih pekat…
Dan suaranya berkata:
> “Kalian telah mengganggu keseimbangan dimensi. Kalian belum mengenalku… tapi aku adalah awal dari semua waktu yang hilang.”
Rania menatap makhluk itu. “Siapa kau?”
> “Aku… adalah Ayah dari Omega.”
“Dan waktuku telah datang.”