Retakan waktu di ruang takhta bukan lagi sekadar celah.
Ia melebar seperti rahang, menyemburkan kabut hitam pekat yang berbau logam dan sihir tua. Dinding-dinding istana bergemuruh, langit-langit retak, dan lantai bergeser seperti sedang bernapas.
Rania berdiri di sisi Kaen dan Alendra. Tangannya menggenggam tongkat waktu erat.
> Di hadapan mereka berdiri sosok tinggi berjubah abu-abu hitam.
Wajahnya tak tampak jelas. Hanya cahaya ungu redup menyala di bawah kerudungnya.
> “Kau siapa?” tanya Rania dengan suara tenang tapi tajam.
Sosok itu tidak menjawab langsung. Ia menoleh ke arah jam pusat Auralis yang tergantung di atas singgasana.
Jam itu berdetak pelan. Lalu…
> Berhenti.
“Tidak…” bisik Reina yang baru datang bersama Elvaron. “Jam pusat... mati?”
Sosok berjubah bicara, suaranya bergema seperti seribu gema dari masa lalu.
> “Auralis telah memaksa waktu untuk tunduk padanya. Kini… waktulah yang akan membalas.”
Rania menyempitkan mata. “Kau bukan Omega.”
> “Omega adalah ciptaanku,” jawab makhluk itu.
“Namaku tak lagi dikenal di zamanmu. Tapi aku yang menulis hukum pertama waktu.”
Kaen maju selangkah, menahan Rania.
“Jika kau pencipta waktu… kenapa kembali sekarang?”
> “Karena kalian telah melanggar aturan tertua: tiga dimensi tak boleh disatukan.”
“Satu waktu—satu jalan. Kalian telah membuka tiga jalur… dan kini harus memilih salah satu untuk hidup. Dua lainnya… akan hancur.”
---
Langit Auralis berubah kelabu.
Pusat kekuatan kerajaan—Jam Pusat—bergetar halus dan kemudian membeku.
Detik tak berjalan.
Bayangan tak bergeser.
Semua di istana diam seperti patung kecuali mereka yang berada dalam ruang takhta.
Rania menarik napas dalam-dalam. “Kalau memang harus memilih satu dimensi untuk diselamatkan… aku ingin tahu harga dari masing-masingnya.”
Sosok berjubah mengangkat tangannya, dan tiga cermin waktu muncul di depan mereka.
1. Dimensi Auralis: Dunia mereka saat ini. Indah, hangat, tapi mulai retak karena beban waktu.
2. Dimensi Dantara: Dunia api, di mana kekuatan penuh dan perang terus bergulir. Tempat di mana Rania dulu hampir mati bersama Kaen.
3. Dimensi Saghra: Dunia es, penuh kedamaian dan logika. Tapi dingin… dan tanpa cinta atau emosi.
“Elvaron,” bisik Reina. “Kalau kita memilih Auralis, maka Dantara dan Saghra akan… lenyap?”
Elvaron mengangguk. “Semua kehidupan di sana… menghilang. Dan kita tak bisa berpaling lagi setelah memilih.”
Kaen menggenggam tangan Rania.
“Pilih Auralis,” katanya. “Kita dilahirkan di sini. Semua cinta, luka, perjuangan… terjadi di sini.”
Rania menatap Alendra.
Tapi wajah anak itu menunduk.
> “Ibuku terperangkap di Saghra.”
“Kalau dunia itu lenyap… aku akan kehilangan satu-satunya jembatan padanya.”
---
Sosok berjubah memberi waktu tujuh menit untuk mereka memilih.
Detik jam tak bergerak, tapi di dalam ruang waktu… batas waktu itu berjalan secara spiritual.
Reina menarik napas berat. “Mungkin… tidak ada pilihan yang benar.”
“Bukan benar atau salah,” sahut Kaen. “Hanya… siapa yang siap bertanggung jawab.”
Rania mendekati cermin ketiga: Saghra.
Ia melihat bayangan Alendra kecil memeluk ibunya yang tersenyum penuh keteduhan.
“Kalau aku memihak Kaen, aku selamatkan dunia tempat kita mencinta.”
“Kalau aku memihak Alendra, aku selamatkan warisan ibunya…”
> “Tapi aku tak bisa selamatkan semuanya.”
> Untuk pertama kalinya… Rania merasa sendirian dalam memilih.
---
Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari balik ruang takhta.
Seorang lelaki tua muncul—berjubah putih, dengan simbol waktu berwarna emas di dadanya.
> “Cukup.”
“Takdir tidak ditentukan oleh pilihan satu orang. Tapi oleh ikatan jiwa mereka yang saling percaya.”
Sosok itu berdiri di antara Rania dan makhluk berjubah hitam.
“Nama saya Naros,” katanya. “Aku penyeimbang waktu. Dan aku datang untuk mengingatkan kalian bahwa jalan ketiga… selalu ada.”
Makhluk jubah hitam berteriak. “Kau tidak berhak campur!”
“Tapi aku berhak mencegah kehancuran dimensi tanpa perang.”
Naros menoleh pada Rania.
> “Kalau kau percaya bahwa cinta dan keberanian bisa melintasi waktu… maka kau bisa mencoba jalan ketiga.”
> “Bukan memilih satu dimensi… tapi menyatukan esensi ketiganya menjadi waktu baru.”
Semua terdiam.
Kaen menggenggam tangan Rania lebih erat.
> “Kau pernah menyatukan tiga kristal. Kalau kau bisa melakukannya lagi, dengan jiwamu sendiri sebagai wadah…”
“…kau bisa membentuk Waktu Keempat. Sebuah dimensi baru yang lahir dari pilihan, bukan warisan.”
---
Tapi risikonya berat.
Elvaron menjelaskan:
Tubuh Rania bisa hancur karena tidak semua manusia bisa menampung tiga esensi dunia.
Dunia baru mungkin menolak mereka yang terlalu terikat pada satu dimensi.
Dan… jika gagal, seluruh semesta waktu bisa berhenti.
Alendra menatap Rania, air mata di matanya.
“Aku siap kehilangan warisan ibuku… asalkan kau tetap hidup.”
Tapi Rania hanya tersenyum dan menjawab:
> “Justru karena aku hidup… aku ingin menyelamatkan warisan ibumu, cintaku pada Kaen, dan dunia ini.”
> “Aku… akan menciptakan Waktu Keempat.”
---
Sosok berjubah hitam mengamuk.
“Aku tak akan biarkan kau menghancurkan keseimbangan abadi!”
Tapi Naros mengangkat tangannya.
> “Kau bukan keseimbangan. Kau adalah keterpaksaan masa lalu.”
---
Rania berjalan ke tengah ruang takhta.
Ia mengangkat tongkat waktu tinggi-tinggi. Lalu perlahan meletakkannya ke tanah.
Sinar menyembur ke atas. Langit-langit istana terbuka, memperlihatkan langit bintang dari semua dimensi.
Ia menutup mata. Memanggil:
Api Dantara dari dalam jiwanya.
Dingin dan logika Saghra dari pikirannya.
Dan cinta serta waktu Auralis dari hatinya.
Tubuhnya mulai retak… cahaya keluar dari celah kulitnya. Tapi ia tak berhenti.
> “Dengan cinta yang tak bisa dibunuh,
Dengan luka yang tak bisa dilupakan,
Dengan waktu yang tak bisa dihentikan,
Aku… menciptakan jalan keempat!”
Cahaya menyembur dari tubuhnya.
Kaen berteriak, “Rania!”
Tapi sebelum tubuhnya hancur, Naros menarik jiwanya ke pusat lingkaran dan menyalurkan penyeimbang waktu.
Cahaya menyatu. Dunia berguncang. Semua dimensi bergetar.
Dan kemudian… hening.
---
Ketika semua membuka mata…
Mereka berdiri di tempat yang sama.
Tapi langit berubah—separuh merah, separuh biru, dan salju turun dari awan api.
Kaen memeluk Rania yang masih pingsan. Tapi jantungnya berdetak.
Alendra berdiri… lalu tersenyum.
> “Kita… masih hidup.”
Jam pusat Auralis berdetak kembali.
Tapi kali ini… dengan suara yang berbeda.