Cherreads

Chapter 45 - Bab 45: Dimensi Baru dan Luka yang Belum Sembuh

Udara Auralis pagi itu terasa berbeda. Langit tidak lagi biru bersih seperti dahulu, melainkan bercampur warna oranye lembut dan kilatan putih keperakan. Salju turun di satu sisi taman, sementara sisi lainnya justru ditumbuhi bunga api dari Dantara.

> Dunia itu telah berubah.

Auralis tak lagi satu.

Ia telah menjadi Waktu Keempat—gabungan dari Auralis, Dantara, dan Saghra.

Tapi… keseimbangan itu rapuh.

---

Di ruang pertemuan utama istana, Reina membentangkan peta energi wilayah Auralis baru.

“Retakan minor mulai muncul di tiga titik,” katanya sambil menunjuk wilayah utara, tenggara, dan tengah.

“Beberapa penduduk kehilangan jejak waktu. Mereka bangun dalam keadaan tua, padahal sehari sebelumnya masih anak-anak.”

Elvaron mengangguk berat. “Itu efek dari penyatuan dimensi. Ada garis waktu yang belum bisa menyatu sempurna.”

Alendra menunduk. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”

Semua menoleh pada Rania.

Rania, yang baru saja pulih dari ritual penciptaan Waktu Keempat, kini menjadi Penjaga Inti Dimensi—gelar baru yang hanya bisa disandang oleh seseorang yang pernah menyentuh ketiga sumber dimensi.

Tapi sorot matanya tidak menunjukkan kemenangan.

> Ia tampak letih.

Dan hatinya masih menahan luka—karena dalam penyatuan itu, ia kehilangan bagian dari dirinya yang tak bisa diambil kembali: hubungan batin dengan jam waktu pertamanya.

“Kita perlu menstabilkan inti pusat dimensi,” ujar Rania akhirnya.

“Tapi untuk itu… kita harus menelusuri jalur-jalur waktu liar yang masih belum sepenuhnya tertutup.”

---

Sementara itu, Kaen mengalami mimpi aneh.

Ia berjalan di koridor istana yang ia kenal dengan baik, namun… semuanya tampak kosong. Tidak ada suara. Tidak ada cahaya. Dinding berubah seperti kaca—dan di baliknya, Kaen melihat dirinya sendiri di masa lalu.

> Sendirian.

Berdiri di depan altar waktu.

Membisikkan sesuatu kepada sosok tak terlihat.

Kaen tersentak bangun, keringat dingin membasahi dahinya.

“Waktu di sini… mulai menyeret masa lalu kembali,” gumamnya.

---

Di ruang pengarsipan dimensi, Alendra menemukan sebuah naskah kuno yang ditulis dalam bahasa campuran Saghra dan Dantara. Ia memanggil Reina dan Rania untuk membacanya bersama.

Isinya membuat darah mereka berdesir.

> “Ketika waktu keempat tercipta, maka pintu kelima akan terbuka.”

“Dan dari pintu itu, akan muncul jiwa-jiwa yang tidak memilih… namun ingin hidup kembali.”

“Mereka adalah bayangan dari masa yang terlupakan…

…dan satu di antara mereka akan memakai wajah seseorang yang pernah kau cintai.”

Rania menatap kalimat itu lama.

> Hatinya mencelos.

> Seseorang yang pernah ia cintai… tapi siapa? Kaen? Atau… seseorang dari dunia asalnya yang telah lama ia lupakan?

---

Sore itu, istana diguncang oleh gempa kecil.

Bukan gempa fisik. Tapi distorsi waktu.

Di taman tengah, seorang pelayan tiba-tiba berubah menjadi gadis kecil. Padahal seminggu lalu ia berulang tahun ke-30.

Di ruang makan, gelas yang dipegang Elvaron tiba-tiba menghilang—lalu muncul kembali dalam bentuk serpihan dari masa depan.

“Ini akan terus terjadi…” desis Reina. “Kecuali kita temukan apa yang mengganggu inti dimensi.”

Rania menatap jam waktunya—yang sejak ritual Waktu Keempat hanya berdetak sangat pelan, seperti lelah.

“Jamku…” gumamnya. “Ia seperti… akan mati.”

Kaen meraih tangannya. “Kalau jam itu mati… apa yang akan terjadi padamu?”

Rania menunduk. Tak sanggup menjawab.

---

Malamnya, Rania berdiri di balkon, menatap langit yang kini penuh bintang asing.

Kaen memeluknya dari belakang, hangat.

“Kau diam sejak siang,” bisiknya.

Rania mengangguk. “Aku merasa… aku tidak akan lama di sini.”

Kaen langsung menegang. “Jangan katakan itu.”

Rania berbalik, menatapnya dalam-dalam.

> “Aku bukan lagi milik satu dunia, Kaen.”

“Aku… bagian dari tiga, tapi juga tak sepenuhnya diterima oleh salah satu.”

“Dan sekarang… jamku semakin lemah. Aku takut… waktu akan menyeretku kembali ke dunia asalku.”

Kaen menggenggam wajahnya, air mata di matanya.

> “Kalau kau pergi… aku akan mencarimu, ke mana pun waktu membawamu.”

Rania tersenyum, meski hatinya hancur.

> “Dan kalau aku tak bisa kembali?”

Kaen menempelkan dahinya ke dahi Rania.

> “Maka aku akan menciptakan waktu yang bisa mengantarkanmu pulang lagi.”

---

Di ujung bab ini, jam waktu Rania berdetik…

lalu retak kecil muncul di tengahnya.

Dan pada saat yang sama… sebuah bayangan muncul di balik ruang dimensi.

Bayangan itu berkata pelan:

> “Rania… kita pernah bertemu… tapi kau telah melupakanku.”

More Chapters