Malam itu hujan turun pelan-pelan. Suasana di pesantren hening, hanya terdengar suara air menetes dari genteng ke halaman. Rangga duduk di meja kecil di pojok asrama, memegang kertas kosong dan sebuah pulpen. Ia baru saja selesai mengikuti sesi refleksi mingguan bersama Abah dan teman-teman.
Tugasnya malam itu sederhana tapi dalam: "Tulis surat untuk dirimu sendiri."
Awalnya Rangga bingung harus mulai dari mana. Tapi setelah menatap kertas beberapa menit, ia menarik napas panjang dan mulai menulis.
---
Untuk Rangga kecil,
Aku tahu kamu sering bingung. Hidup gak selalu adil buatmu. Kamu sering dimarahin, sering merasa sendirian. Kadang kamu cuma pengen main layangan di atas atap, tapi malah dimarahin. Kadang kamu cuma pengen punya teman, tapi malah dikeluarkan dari sekolah.
Tapi aku mau bilang... kamu kuat. Walaupun kamu pernah tidur di warnet, keliling ngamen, gak punya arah, kamu tetap hidup. Kamu tetap bertahan. Kamu tetap Rangga.
Terima kasih karena gak menyerah.
---
Untuk Rangga masa depan,
Semoga kamu bisa buka bengkel sendiri. Semoga kamu bisa kerja keras tapi juga punya hati. Jangan lupa orang-orang yang bantu kamu waktu kamu gak punya apa-apa. Jangan lupa senyum kecil anak-anak di jalan yang dulu pernah bareng kamu. Jangan lupa Abah, Mimih, dan semua yang percaya kamu bisa berubah.
Kalau nanti kamu sudah sukses... jangan jadi sombong. Tetap jadi Rangga yang sederhana, yang pernah jatuh, dan tahu rasanya bangkit.
Dan kalau suatu hari kamu merasa capek, baca surat ini lagi. Ingat... kamu pernah bermimpi besar dari tempat yang kecil.
Salam dari aku yang masih belajar,
Rangga
---
Saat selesai menulis, mata Rangga sedikit basah. Tapi hatinya hangat. Surat itu seperti jembatan—menghubungkan luka lama dan harapan baru.
Ia melipat kertas itu pelan-pelan, menyimpannya di dalam Al-Qur'an miliknya, tepat di antara halaman yang sering ia baca saat merasa lelah.
Di luar, hujan masih turun. Tapi di dalam hatinya, cahaya mulai menyala.